KOMPAS.com - Sering kali, kenaikan berat badan dianggap hanya disebabkan oleh pola makan yang buruk dan kurangnya aktivitas fisik. Namun, penelitian menunjukkan bahwa faktor genetika juga berperan dalam menentukan seberapa mudah seseorang mengalami obesitas.
"Obesitas bukanlah pilihan," kata Giles Yeo, seorang ahli genetika dari University of Cambridge. Menurutnya, genetika memainkan peran besar dalam bagaimana otak kita mengontrol nafsu makan dan berat badan.
Walau pola makan dan gaya hidup berperan penting, penelitian menunjukkan bahwa 50 hingga 80 persen variasi berat badan di antara individu bisa disebabkan oleh perbedaan genetik.
Di Amerika Serikat, hampir sepertiga orang dewasa dan satu dari enam anak-anak mengalami kelebihan berat badan. Obesitas meningkatkan risiko berbagai penyakit seperti diabetes tipe 2, tekanan darah tinggi, stroke, dan penyakit jantung.
Meskipun mutasi genetik yang menyebabkan obesitas ekstrem sangat jarang, terdapat ratusan variasi gen yang dapat meningkatkan risiko obesitas. Ketika seseorang mewarisi beberapa variasi gen ini, risiko mereka untuk mengalami obesitas meningkat secara signifikan, terutama jika dikombinasikan dengan gaya hidup yang kurang sehat.
Baca juga:
Pada tahun 1949, ilmuwan menemukan bahwa mutasi pada gen tertentu menyebabkan tikus laboratorium mengalami kenaikan berat badan secara drastis karena mereka terus-menerus merasa lapar. Setelah bertahun-tahun penelitian, ditemukan bahwa gen tersebut menghasilkan hormon leptin, yang berperan dalam mengontrol rasa kenyang.
Leptin diproduksi oleh sel-sel lemak dan dikirim ke otak untuk memberi sinyal bahwa tubuh sudah memiliki cukup energi. "Leptin adalah hormon yang memberi tahu otak seberapa banyak energi yang kita miliki," jelas Roger Cone, peneliti dari University of Michigan. Jika sistem ini terganggu, seseorang bisa terus merasa lapar dan mengalami kesulitan dalam mengatur berat badannya.
Lebih lanjut, penelitian mengungkapkan bahwa leptin hanyalah satu bagian dari jaringan kompleks gen yang bekerja dalam jalur melanokortin—yang juga mencakup insulin—untuk mengontrol nafsu makan dan metabolisme tubuh. "Seperti termostat di dinding yang mengatur jumlah energi di dalam ruangan, sistem leptin-melanokortin mengontrol seberapa banyak energi yang kita simpan sebagai lemak," tambah Cone.
Baca juga:
Mutasi gen tunggal yang menyebabkan obesitas parah hanya terjadi pada kurang dari tujuh persen kasus di seluruh dunia. Misalnya, defisiensi leptin yang sangat langka hanya ditemukan pada sekitar selusin kasus.
Namun, lebih umum ditemukan variasi DNA yang memengaruhi cara kerja gen. Studi Genome-Wide Association Studies (GWAS) memungkinkan ilmuwan untuk mengidentifikasi variasi gen yang berkaitan dengan obesitas dengan membandingkan DNA ribuan individu.
Salah satu gen yang menarik perhatian para ilmuwan adalah gen FTO. Penelitian yang membandingkan 2.900 individu obesitas dengan 5.100 individu dengan berat badan normal menemukan bahwa orang dengan variasi tertentu dalam gen FTO memiliki risiko obesitas 22 persen lebih tinggi. Bahkan, pada pria dewasa Eropa, variasi lain dari gen ini dapat meningkatkan risiko obesitas hingga 70 persen.
Penelitian menunjukkan bahwa individu dengan variasi gen FTO memiliki kadar hormon ghrelin yang lebih tinggi. Hormon ini bertanggung jawab atas rasa lapar, sehingga mereka cenderung merasa lapar lebih cepat setelah makan.
Studi pencitraan otak juga menunjukkan bahwa individu dengan varian gen FTO ini memiliki respons yang berbeda terhadap ghrelin dan terhadap gambar makanan, yang menjelaskan mengapa mereka lebih cenderung makan dalam jumlah yang lebih banyak.
Baca juga: Warga Jepang Miliki Risiko Obesitas Rendah dan Harapan Hidup Tinggi, Apa Rahasianya?
Tidak semua variasi genetik berujung pada obesitas. Sebuah penelitian terhadap lebih dari 640.000 orang dari Meksiko, AS, dan Inggris menemukan bahwa orang yang memiliki versi tidak aktif dari gen tertentu di otak mereka memiliki berat badan sekitar 5,3 kg lebih ringan dan setengah lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami obesitas.
Namun, sebagian besar penelitian ini dilakukan pada populasi Eropa dan kulit putih. Oleh karena itu, masih diperlukan studi lebih lanjut yang mencakup berbagai etnis untuk memahami bagaimana genetika mempengaruhi obesitas secara global.