KOMPAS.com - Memaafkan sering kali dipahami sebagai tindakan moral atau spiritual—sebuah ajakan untuk menjadi “orang baik” atau untuk mengikuti ajaran agama. Namun, dalam perkembangan ilmu psikologi dan kedokteran modern, memaafkan telah terbukti memiliki dampak langsung terhadap kesehatan mental dan fisik seseorang. Ia bukan sekadar kebajikan, tetapi juga bentuk nyata dari perawatan diri (self-care).
Dalam sebuah episode podcast Mentally Stronger, pembicara menekankan bahwa memaafkan bukanlah bentuk kelemahan atau kepasrahan, melainkan tindakan penuh kesadaran yang mendalam dan kompleks, serta memiliki dampak ilmiah terhadap tubuh dan pikiran kita.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa menyimpan dendam dapat membawa konsekuensi serius terhadap tubuh kita. Ketika seseorang menyimpan amarah, tubuh merespons dengan meningkatkan kadar hormon stres—kortisol. Dalam jangka panjang, peningkatan kortisol ini bisa mengganggu berbagai fungsi tubuh: meningkatkan tekanan darah, memperlemah sistem imun, hingga meningkatkan risiko penyakit jantung.
Sebaliknya, ketika seseorang benar-benar memaafkan, kadar kortisol mereka menurun. Mereka melaporkan tidur lebih nyenyak, merasa lebih tenang, dan secara keseluruhan menjadi lebih sehat. Penelitian juga menunjukkan bahwa memaafkan dapat menurunkan risiko penyakit kronis dan bahkan memperpanjang harapan hidup.
Salah satu studi dari Luther College menunjukkan hubungan langsung antara memaafkan dan angka kematian yang lebih rendah. Para peneliti menyimpulkan bahwa memaafkan mengurangi beban mental dan fisik yang selama ini secara diam-diam merusak tubuh.
Dengan kata lain, “Menyimpan dendam tidak membahayakan orang yang menyakiti kamu, tapi itu justru menyakiti diri sendiri.” Ketika kita berpegang erat pada kemarahan, kitalah yang menderita —bukan mereka.
Baca juga:
Kendati manfaatnya jelas, banyak orang masih kesulitan memaafkan. Salah satu alasannya adalah berbagai mitos yang keliru mengenai apa itu pengampunan:
Salah. Memaafkan bukan berarti melupakan atau membiarkan tindakan buruk terjadi tanpa konsekuensi. Kita masih bisa mengingat kesalahan orang lain, menjaga batasan, dan bahkan tetap mengkritisi perilaku tersebut—tetapi tanpa membawa luka dan kemarahan itu dalam hati kita.
Juga tidak benar. Kita bisa memaafkan seseorang tanpa harus kembali dekat dengan mereka. Memaafkan adalah proses batin; rekonsiliasi atau berhubungan kembali adalah pilihan sosial. Terkadang, batasan adalah hal yang sehat, bahkan perlu.
Realitanya, pengampunan sejati butuh waktu. Ia bukan momen ajaib, melainkan proses panjang yang penuh kerja batin. Mengatakan "Saya memaafkan" terlalu cepat tanpa mengolah rasa sakit hanya akan melahirkan pengampunan palsu. Proses ini bisa berlangsung selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.
Baca juga:
Bagaimana sebenarnya cara memaafkan? Ilmu psikologi menawarkan beberapa tahapan praktis yang bisa membantu kita mengolah luka dan melepaskan dendam secara bertahap:
Mengabaikan rasa sakit tidak menyelesaikan masalah. Menyadari dan menerima emosi seperti marah, sedih, atau kecewa adalah langkah awal. Cobalah menuliskan perasaan dalam jurnal atau bicarakan dengan orang tepercaya. Tidak ada emosi yang “salah”—semua valid.
Alih-alih terus memikirkan pelaku, pikirkan dampaknya pada hidup kita: Apakah dendam ini menguras energi? Apakah ia mengganggu tidur? Menyulitkan hubunganmu dengan orang lain? Memaafkan bukan soal membebaskan pelaku—tetapi membebaskan diri kita sendiri.
Ini mungkin terdengar sulit, tetapi mencoba melihat orang lain sebagai manusia yang juga penuh luka bisa membantu mengurangi intensitas amarah. Bukan berarti membenarkan tindakan mereka, tetapi memahami bahwa mereka mungkin bertindak berdasarkan ketidaktahuan, luka, atau ketakutan.
Katakan pada diri sendiri, “Saya tidak membenarkan apa yang mereka lakukan, tetapi saya paham bahwa mereka juga manusia yang rapuh.”