KOMPAS.com - Meskipun terdengar ekstrem, praktik minum urine atau urophagia masih dilakukan hingga kini. Didukung oleh tokoh publik dan warisan pengobatan kuno, terapi urine diklaim dapat menyembuhkan beragam penyakit. Namun, apakah urine benar-benar bisa menjadi "obat alami"?
Terapi urine bukan hal baru. Dalam tradisi pengobatan kuno seperti Ayurveda di India, urine digunakan untuk mengobati asma, alergi, gangguan pencernaan, hingga kanker. Di Romawi kuno, penyair Catullus percaya bahwa urine bisa memutihkan gigi, kemungkinan karena kandungan amonia di dalamnya.
Pada tahun 1945, John W. Armstrong, seorang naturopatis asal Inggris, menerbitkan buku The Water of Life, yang menyatakan bahwa meminum urine sendiri dan mengoleskannya ke kulit bisa menyembuhkan penyakit berat.
Beberapa tokoh terkenal juga pernah mendukung praktik ini. Morarji Desai, mantan Perdana Menteri India, mengaku minum segelas urine setiap hari sebagai rahasia umur panjang dan kebugarannya.
Juan Manuel Márquez, petinju asal Meksiko, menerapkan terapi urine saat bersiap menghadapi Floyd Mayweather Jr. pada tahun 2009. namun dia kalah dalam pertandingan itu. Selain itu, Ben Grylls, pembawa acara survival TV, mengajarkan minum urine sebagai teknik bertahan hidup di kondisi ekstrem.
Di beberapa wilayah lain, praktik ini juga digunakan. Di Nigeria, urine kadang dijadikan pengobatan kejang pada anak. Di Tiongkok, organisasi bernama China Urine Therapy Association mengklaim bahwa minum dan membasuh dengan urine bisa menyembuhkan sembelit dan luka kulit.
Baca juga:
Urine adalah cairan limbah hasil penyaringan ginjal. Komposisinya meliputi:
Sebagian penganut terapi urine meyakini bahwa zat-zat ini bisa “didaur ulang” untuk memperkuat kekebalan tubuh. Mereka berpendapat bahwa minum urine berarti vitamin dan mineral di dalamnya bisa digunakan kembali, bukannya terbuang – hal ini juga berlaku untuk hormon, protein, dan antibodi yang ditemukan dalam urine.
Namun, secara ilmiah, jumlah zat-zat tersebut dalam urine sangat kecil dan tidak cukup signifikan untuk memberikan manfaat nyata. Suplemen gizi akan lebih efektif dan aman.
Baca juga: Vicky Burky Minum Air Kencing Sendiri, Apa Risikonya?
Di era media sosial, banyak influencer mengklaim bahwa minum atau mengoleskan urine ke kulit dapat menyembuhkan jerawat atau infeksi kulit. Klaim ini muncul karena urine mengandung urea, zat yang juga digunakan dalam produk perawatan kulit sebagai pelembap. Namun, kadar urea dalam urine terlalu rendah untuk memberikan efek seperti produk medis.
Sebagian orang juga mengaitkan urine dengan efek detoksifikasi dan anti-penuaan. Kandungan seperti dehydroepiandrosterone (hormon steroid yang menurun seiring usia) disebut-sebut bisa memperlambat penuaan. Namun, tidak ada cukup data ilmiah yang mendukung klaim ini.
Terlepas dari berbagai klaim manfaat, menurut Dipa Kamdar, Dosen Senior Praktek Farmasi, Kingston University, terapi urine menyimpan berbagai risiko kesehatan yang tidak boleh diabaikan:
Banyak orang mengira urine itu steril, padahal penelitian menunjukkan urine secara alami mengandung bakteri dalam kadar rendah. Ketika keluar dari tubuh, urine bisa lebih terkontaminasi. Jika diminum, bakteri ini bisa masuk ke sistem pencernaan dan menyebabkan infeksi perut atau usus.
“Minum urine bisa memasukkan bakteri dan racun ke dalam saluran pencernaan, serta menyebabkan penyakit tambahan seperti infeksi lambung.”
Karena urine mengandung limbah seperti garam, ginjal harus menyaringnya kembali, yang berarti bekerja lebih keras. Selain itu, urine justru dapat mempercepat dehidrasi: