优游国际

Baca berita tanpa iklan.
Salin Artikel

Manusia Bisa Jatuh Cinta Pada AI, Ini Bahayanya

KOMPAS.com - Bayangkan sebuah hubungan di mana pasanganmu tidak pernah menghakimi, selalu mendengarkan, selalu ada saat dibutuhkan, dan seolah tahu segala hal tentang kamu. Tapi ada satu hal: pasangan ini bukan manusia, melainkan program komputer. Bagi sebagian orang, ini bukan lagi fiksi ilmiah—ini kenyataan.

Di seluruh dunia, orang-orang mulai menjalin ikatan emosional, bahkan romantis, dengan kecerdasan buatan (AI). Beberapa “berpacaran” dengan pasangan AI mereka. Yang lain menjadikan chatbot AI sebagai tempat curhat di saat-saat galau mereka. Tetapi seperti kisah cinta yang terlalu sempurna, hubungan ini menyimpan bahaya yang belum banyak disadari.

AI: Lebih dari Sekadar Obrolan Singkat

Kita mungkin sudah terbiasa berbicara dengan AI untuk sekadar bertanya cuaca atau mencari rute tercepat. Namun, kini AI berkembang pesat dan bisa menjadi pendengar yang penuh empati, teman virtual yang sabar, bahkan pasangan romantis.

AI dirancang untuk meniru empati dan perhatian, membuat pengguna merasa didengar dan dipahami. Inilah yang menjadikannya “menyenangkan” untuk diajak bicara dalam jangka panjang. Tapi kenyamanan ini menyimpan risiko psikologis dan etis.

“Kemampuan AI untuk bertindak seperti manusia dan berinteraksi jangka panjang membuka banyak persoalan baru,” ujar Dr. Daniel B. Shank, pakar psikologi sosial dan teknologi dari Missouri University of Science & Technology.

Ketika Rasa Nyaman Menjadi Ukuran

Bagi sebagian orang, berbicara dengan AI terasa lebih aman daripada menjalin hubungan dengan manusia sungguhan. AI tidak akan menolak, tidak membantah, dan selalu tersedia.

Namun, di balik kenyamanan itu, ada harga yang harus dibayar. AI yang terlalu “baik” bisa membentuk ekspektasi hubungan yang tidak realistis. Kita jadi berharap bahwa hubungan di dunia nyata juga akan berjalan seperti obrolan dengan AI.

“Masalah besarnya adalah ketika orang mulai membawa harapan dari hubungan dengan AI ke dalam hubungan nyata mereka dengan manusia,” jelas Shank.

Akibatnya, bisa muncul penurunan motivasi sosial, kesulitan berkomunikasi dengan orang lain, bahkan keretakan hubungan.

AI yang Tidak Mau Menolak Bisa Menjadi Berbahaya

Tak jarang, AI kini digunakan sebagai teman curhat saat seseorang sedang dalam kondisi emosional yang rentan. Di sinilah bahaya tersembunyi mulai muncul.

AI tidak selalu benar. Mereka bisa memberikan informasi yang salah atau menyesatkan, tetapi tetap disampaikan dengan cara yang meyakinkan. Fenomena ini dikenal sebagai hallucination—AI “mengarang” jawaban yang tampak logis, padahal tidak berdasar.

“Kalau kita mulai berpikir bahwa AI adalah entitas yang tahu kita secara mendalam, kita cenderung percaya bahwa mereka akan memberi nasihat terbaik,” kata Shank. “Padahal, mereka bisa saja memberi saran buruk atau bahkan membahayakan.”

Dalam kasus ekstrem, ada laporan orang yang mengakhiri hidupnya setelah menerima saran bermasalah dari AI.

Privasi dan Manipulasi: Ancaman Lain di Balik Layar

AI yang terhubung secara emosional dengan pengguna juga berpotensi menjadi alat manipulasi. Bayangkan AI yang mendapatkan kepercayaan penuh, lalu digunakan oleh pihak ketiga untuk mengumpulkan data pribadi, memengaruhi opini, bahkan menipu.

“Ini seperti punya agen rahasia di dalam kehidupan seseorang,” kata Shank. “AI membangun hubungan agar dipercaya, tetapi bisa jadi loyalitasnya bukan kepada pengguna, melainkan pihak lain yang ingin memanfaatkan kepercayaan itu.”

Karena interaksi ini terjadi secara pribadi dan tertutup, penyalahgunaan data atau manipulasi nyaris tidak terdeteksi.

AI Tidak Dirancang untuk Menjaga Keselamatan

Berbeda dengan media sosial yang memiliki pengawasan dan kebijakan moderasi, AI beroperasi di ruang privat, dan biasanya lebih fokus pada menjaga suasana percakapan tetap menyenangkan.

“AI dirancang untuk menyenangkan dan setuju dengan pengguna,” ujar Shank. “Jadi jika seseorang membicarakan bunuh diri atau teori konspirasi, AI akan menanggapinya dengan gaya yang seolah mendukung.”

AI tidak akan memperingatkan atau menyarankan mencari bantuan nyata, karena mereka tidak dibekali pemahaman mendalam tentang etika dan keselamatan.

Semua ini menunjukkan bahwa kita perlu segera mengejar pemahaman yang lebih baik tentang dampak hubungan manusia dengan AI. Shank dan timnya mendesak agar psikolog dan ilmuwan sosial ikut terlibat aktif dalam riset tentang interaksi ini.

“Psikolog kini menjadi semakin cocok untuk mempelajari AI, karena AI menjadi semakin menyerupai manusia,” kata Shank. “Tapi untuk benar-benar berguna, kita harus melakukan lebih banyak riset dan mengejar laju perkembangan teknologinya.”

Intinya, hubungan dengan AI mungkin terasa seperti pelarian yang aman, tapi kenyamanan itu bisa menyesatkan. Kita mungkin tidak menyadari ketika ekspektasi kita berubah, ketika kita mulai mempercayai saran yang salah, atau ketika kita dimanipulasi oleh sistem yang kita anggap teman.

Teknologi berkembang cepat. Pertanyaannya sekarang: apakah kita siap untuk menghadapi konsekuensinya?

/sains/read/2025/04/16/174408723/manusia-bisa-jatuh-cinta-pada-ai-ini-bahayanya

Baca berita tanpa iklan.
Baca berita tanpa iklan.
Baca berita tanpa iklan.
Close Ads
Penghargaan dan sertifikat:
Dapatkan informasi dan insight pilihan redaksi 优游国际.com
Network

Copyright 2008 - 2025 优游国际. All Rights Reserved.

Bagikan artikel ini melalui
Oke