优游国际

Baca berita tanpa iklan.
Salin Artikel

Misteri Milky Seas: Mengapa Lautan Kadang Terlihat Bercahaya?

KOMPAS.com - Bayangkan malam di tengah samudra luas, tanpa cahaya kota atau daratan, tiba-tiba laut di sekelilingmu memancarkan sinar hijau pucat yang lembut dan menyala seperti bintang-bintang yang bersinar dalam gelap. Fenomena ini bukanlah khayalan atau efek film fiksi ilmiah, melainkan fenomena alam nyata yang dikenal sebagai milky seas atau "lautan susu."

Selama berabad-abad, para pelaut melaporkan kejadian aneh ini — penampakan bagian lautan yang bercahaya pada malam hari, seperti hamparan susu bercahaya yang membentang sejauh mata memandang. Cahaya ini begitu terang hingga bisa digunakan untuk membaca di geladak kapal. Luasnya bisa mencapai 100.000 kilometer persegi—nyaris seukuran Islandia—dan bahkan dapat terlihat dari luar angkasa.

Fenomena ini dinamakan milky seas oleh para pelaut, namun meskipun laporan telah ada sejak ratusan tahun lalu, para ilmuwan baru dalam beberapa dekade terakhir mulai memahami penyebabnya. Cahaya ini diyakini berasal dari bakteri bioluminesen, terutama spesies Vibrio harveyi, yang mampu menghasilkan cahaya dalam kondisi tertentu.

Cahaya dari Kehidupan Mikro

Bioluminesensi bukanlah hal baru di alam. Kita mengenal kunang-kunang sebagai contoh paling populer. Namun, bagaimana bakteri di laut bisa memancarkan cahaya dalam skala besar masih menjadi teka-teki.

Satu petunjuk berasal dari pertemuan tak disengaja kapal riset dengan milky sea pada 1985, di mana mereka menemukan bahwa bakteri bercahaya hidup di permukaan alga yang membentuk "bloom" atau bunga — mungkin menjelaskan cahaya yang menyebar merata ke segala arah.

Namun, ini hanyalah satu titik data yang bisa jadi menyesatkan. Karena itu, para ilmuwan  mencoba menggabungkan pengamatan dari satelit dengan prediksi iklim untuk memperkirakan kapan dan di mana fenomena ini muncul.

Salah satu kemajuan besar dalam studi milky seas datang dari peristiwa tahun 2019 di lepas pantai Jawa. Ketika ilmuwan atmosfer Steven Miller dari Colorado State University (CSU) menerbitkan studi berbasis data satelit tentang kemungkinan milky sea di wilayah itu, ia tak menduga akan dihubungi oleh saksi mata langsung.

Naomi McKinnon, awak kapal layar bernama Ganesha, menghubungi Miller dan membagikan foto-foto peristiwa tersebut. “Saya tidak menyadari saat itu bahwa saya sedang menyaksikan sesuatu yang sangat langka,” ujarnya. Cahaya yang terlihat berasal dari kedalaman sekitar 10 meter dan membentang seluas 98.000 km persegi. Foto-foto ini menjadi dokumentasi visual pertama milky sea dari permukaan laut.

Ketika awak kapal menimba air laut ke dalam ember, mereka melihat titik-titik cahaya yang menyala stabil, bukan berkedip seperti plankton. Ini memperkuat dugaan bahwa sumber cahaya adalah bakteri, bukan protista.

Bagaimana Lautan Bisa Menyala?

Menurut Kenneth Nealson, ahli mikrobiologi dari University of Southern California, bakteri seperti Vibrio harveyi mungkin menggunakan cahaya untuk menarik perhatian ikan—tujuan akhirnya adalah dimakan dan hidup dalam saluran pencernaan ikan, tempat yang lebih stabil daripada laut terbuka.

Namun, satu bakteri terlalu kecil untuk menarik perhatian. Untuk menyalakan laut, mereka harus bekerja sama. Lewat proses yang disebut quorum sensing, bakteri akan menyala hanya jika mereka mendeteksi cukup banyak “teman” di sekitar mereka—sekitar 10 hingga 100 juta bakteri per mililiter air.

Kondisi ini bisa terjadi di wilayah upwelling seperti barat laut Samudra Hindia, di mana arus membawa material organik kaya nutrisi ke permukaan. Jika air ini terjebak karena perbedaan salinitas atau suhu, terbentuklah “flask alami”—sejenis sup mikroba yang ideal untuk menyinari laut.

Jejak 400 Tahun: Dari Catatan Pelaut hingga Satelit

Untuk mendalami lebih jauh, para peneliti dari Colorado State University (CSU) membangun arsip data sepanjang 400 tahun. Penelitian yang diterbitkan dalam Earth and Space Science ini menggabungkan catatan sejarah pelaut, jurnal pengamat laut selama 80 tahun, serta pengamatan satelit modern. Ini adalah basis data paling komprehensif tentang milky seas dalam 30 tahun terakhir.

Hasilnya menunjukkan bahwa fenomena ini paling sering terjadi di sekitar Laut Arab dan Asia Tenggara, dan tampaknya berkaitan dengan pola iklim besar seperti Indian Ocean Dipole dan El Niño Southern Oscillation. Kedua fenomena ini dikenal mempengaruhi pola cuaca global, sehingga menimbulkan pertanyaan: apakah milky seas juga merupakan bagian dari sistem iklim Bumi?

Menuju Penemuan Secara Langsung

Justin Hudson, mahasiswa doktoral dan penulis utama studi, menyatakan bahwa tujuan utama dari basis data ini adalah untuk memprediksi waktu dan lokasi kemunculan milky sea agar kapal riset bisa segera mengaksesnya.

“Sangat sulit mempelajari sesuatu jika kita tidak memiliki data tentangnya,” kata Hudson. Ia menambahkan bahwa hingga kini, hanya ada satu foto milky sea dari permukaan laut yang diambil secara kebetulan oleh kapal Ganesha pada tahun 2019.

Lokasi-lokasi di mana fenomena ini muncul juga penting secara ekologis dan ekonomi, terutama bagi industri perikanan. Dengan data yang tersedia, para peneliti kini memiliki peluang untuk mengamati langsung sifat kimia dan biologis lautan susu, serta bagaimana fenomena ini terhubung dengan sistem Bumi secara keseluruhan.

Lautan, Arus, dan Peran Bakteri

Menurut Hudson, munculnya milky seas sering kali terkait dengan daerah barat laut Samudra Hindia, seperti di dekat Somalia dan Socotra, Yaman. “Hampir 60% dari semua kejadian yang tercatat terjadi di wilayah ini,” ujarnya. Wilayah tersebut sangat dipengaruhi oleh musim monsun yang mengatur arah angin dan arus laut, serta berperan besar dalam pergerakan karbon dan nutrien secara global.

Hudson menduga bahwa milky seas bisa menjadi bagian dari siklus karbon global yang selama ini belum diperhitungkan. Hal ini penting karena bakteri memainkan peran utama dalam daur ulang karbon, baik di daratan maupun di lautan.

Dari Mitos Laut ke Pemahaman Sains

Profesor Steven Miller dari CSU, yang juga menjadi penulis dalam studi ini, telah meneliti milky seas selama bertahun-tahun. Ia memimpin upaya pencitraan fenomena ini dari satelit dan melihat peluang besar dengan adanya basis data terbaru.

“Milky seas adalah ekspresi menakjubkan dari biosfer kita, yang maknanya dalam sistem alam belum kita pahami sepenuhnya,” ujarnya. “Fenomena ini menunjukkan adanya hubungan yang belum dijelajahi antara permukaan laut, atmosfer, dan peran global bakteri dalam sistem Bumi.”

Dengan data yang dikumpulkan sejak zaman kapal layar hingga era satelit, para ilmuwan bisa menghubungkan cerita rakyat dari lautan dengan pengetahuan ilmiah modern.

Apa Arti Semua Ini?

Penelitian ini merupakan bagian dari disertasi Hudson di Departemen Ilmu Atmosfer CSU yang akan ia pertahankan tahun ini. Ia berharap basis data ini membuka jalan bagi studi lanjut. “Kita belum tahu apakah milky seas menunjukkan ekosistem yang sehat atau yang sedang tertekan,” katanya. “Bakteri penyebabnya diketahui bisa berdampak buruk pada ikan dan krustasea.”

Dengan adanya data yang lengkap, para ilmuwan kini tak lagi hanya berharap pada keberuntungan semata untuk menemukan milky sea di laut lepas. Kini, mereka dapat merancang misi penelitian yang lebih terarah—demi memahami lebih dalam hubungan antara mikroorganisme dan sistem Bumi secara menyeluruh.

/sains/read/2025/04/10/094456223/misteri-milky-seas-mengapa-lautan-kadang-terlihat-bercahaya

Baca berita tanpa iklan.
Baca berita tanpa iklan.
Baca berita tanpa iklan.
Close Ads
Penghargaan dan sertifikat:
Dapatkan informasi dan insight pilihan redaksi 优游国际.com
Network

Copyright 2008 - 2025 优游国际. All Rights Reserved.

Bagikan artikel ini melalui
Oke