Tim Redaksi
Untuk pelajaran menjahit dan memasak, Dewi Sartika sendiri yang mengajar.
Pada 1916, Dewi Sartika khusus belajar membatik di Kendal, Jawa Tengah, kepada RA Kardinah, adik kandung RA Kartini.
Baca juga: Kongres Perempuan Indonesia I: Latar Belakang, Tujuan, dan Hasilnya
Dewi Sartika bahkan mendatangi orang asing yang dibutuhkan. Misalnya mengundang seorang guru berkebangsaan Belanda untuk pelajaran bahasa Belanda, dan mendatangkan pengajar dari Rumah Sakit Immanuel untuk mengajarkan pertolongan pertama pada kecelakaan.
Usaha Dewi Sartika memperjuangkan pendidikan bagi perempuan mendapat apresiasi dari Pemerintah Hindia Belanda, yang memberikan penghargaan Bintang Perak pada 1922.
Pada 1929, Sakola Kautamaan Istri diubah namanya menjadi Sakola Raden Dewi.
Satu dekade kemudian, Dewi Sartika kembali mendapatkan penghargaan dari pemerintah Hindia Belanda, yakni Bintang Emas, sekaligus diberikan bangunan baru.
Di setiap perjuangan Dewi Sartika, terdapat sosok suami bernama Raden Kanduruan Agah Suriawinata, yang merupakan seorang guru di Eerste Klasse School.
Dalam mengembangkan sekolah yang dirintisnya, Dewi Sartika mendapat banyak bimbingan dari Raden Agah, yang meninggal secara mendadak pada 1939.
Sayangnya, pada masa pendudukan Jepang yang dimulai pada 1942, terdapat kebijakan yang sangat drastis.
Jepang mengeluarkan peraturan semua sekolah dasar dijadikan satu jenis, yaitu Sekolah Rakyat dan Sakolah Raden Dewi menjadi Sekolah Gadis No. 29.
Baca juga: Kongres Perempuan Indonesia II: Latar Belakang dan Hasilnya
Pada masa pendudukan Jepang, kesehatan Dewi Sartika berangsur menurun.
Peristiwa Bandung Lautan Api pada 24 Maret 1946 mendorong warga Kota Bandung untuk mengungsi, tidak terkecuali Dewi Sartika.
Dewi Sartika beserta keluarganya mencari perlindungan di daerah Ciparay, Bandung Selatan, sebelum akhirnya pindah ke Garut.
Sekitar Mei 1947, mereka pindah ke Desa Cineam, yang berbatasan dengan Tasikmalaya dan Ciamis.
Perjalanan mereka dari Garut ke Desa Cineam sangat berat, menempuh perjalanan kaki melintasi desa-desa, perkebunan, dan sawah, dan masih harus menghindari patroli Belanda, sekaligus serangan oleh kelompok Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang aktif di daerah tersebut.
Masa-masa sulit itu membuat kesehatan Dewi Sartika memburuk hingga harus dirawat di Rumah Sakit Cineam, di bawah pengawasan dr. Sanitioso.
Dewi Sartika wafat pada tanggal 11 September 1947, dalam usia 63 tahun.
Baca juga: Kongres Perempuan Indonesia III: Latar Belakang dan Hasilnya
Dewi Sartika meninggal karena sakit dan dimakamkan di Desa Cineam.
Pada tahun 1950, makam Dewi Sartika dipindahkan ke Kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung, sesuai keinginannya untuk dimakamkan di dekat suaminya.
Dewi Sartika merupakan tokoh perintis pejuang emansipasi perempuan, khususnya dalam bidang pendidikan.
Oleh sebab itu, tidak heran apabila Dewi Sartika disebut pahlawan perintis pendidikan perempuan di Indonesia.
Atas jasa dan peran Dewi Sartika bagi Indonesia, Pemerintah RI memberikan gelar pahlawan nasional melalui Keputusan Presiden No. 252 tanggal 1 Desember 1966.
Referensi:
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.