优游国际

Baca berita tanpa iklan.
Ma'rufin Sudibyo

Orang biasa saja yang gemar melihat bintang dan menekuri Bumi.

Cara Nahdlatul Ulama Tetapkan Hari Raya, Asas Fikih

优游国际.com - 31/03/2025, 09:25 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di
Editor

oleh: KH. Sirril Wafa, KH. Abdus Salam Nawawi dan Muh. Ma’rufin Sudibyo, Lembaga Falakiyah PBNU masa khidmah 2022–2027.

Rukyatul hilal, atau disebut juga rukyah hilal, adalah pengamatan Bulan sabit tertipis dalam 3 moda (moda kasat mata, moda kasat teleskop dan moda kasat kamera) yang menjadi pedoman Nahdlatul Ulama guna menentukan tanda waktu Hijriah. Termasuk dalam menentukan awal Ramadhan dan dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha) dalam tahun 1446 H / 2025 M ini. Sebagai metode prosedural penentuan tanda waktu bulan Hijriah, rukyatul hilal tidak berdiri di ruang hampa. Tetapi ditopang dua asas yang kukuh : ilmu fikih dan ilmu falak. 

Kalender Bulan dan hukum

Sistem penanggalan (kalender) Hijriah adalah satuan masa yang dipedomani Umat Islam di seluruh dunia yang berdasarkan pada pergerakan Bulan menyusuri orbitnya dalam mengelilingi Bumi. Al–Qur’an dalam surat Yasin ayat 39–40 menyatakan pergerakan itulah yang menjadikan wajah Bulan nampak dalam bentuk–bentuk tertentu kala dilihat para penduduk Bumi. Ilmu falak menyebutnya fase–fase Bulan yang menjadi konsekuensi langsung dari peredaran sinodis Bulan. 

Ada dua moda yang dimiliki Bulan dalam perjalanan rutinnya mengelilingi Bumi. Yang pertama adalah peredaran sideris, yaitu kala Bulan mengelilingi Bumi tepat membentuk satu orbit penuh. Pengukuran ilmu falak terhadap peredaran sideris berdasarkan acuan bintang–bintang di latar belakang. Peredaran sideris menghasilkan periode sideris Bulan yang nilainya 27 hari 7 jam 43 menit. 

Sedangkan yang kedua adalah peredaran sinodis, yakni kala Bulan mengelilingi Bumi dengan acuan pada kedudukan Matahari. Sehingga diukur dari saat konjungsi Bulan–Matahari (ijtimak) ke konjungsi berikutnya yang berurutan. Akibat lonjongnya orbit Bulan dan pengaruh gangguan gravitasi planet–planet tetangga Bumi, maka peredaran sinodis menghasilkan periode sinodis yang bervariasi nilainya dari 29 hari 6 jam 35 menit hingga 29 hari 19 jam 54 menit. 

Periode sinodis inilah yang nampak  siklus fase Bulan : Bulan sabit–Bulan sabit tebal–Bulan perbani–Bulan purnama–Bulan perbani tua–Bulan sabit tebal tua–Bulan sabit tua untuk kemudian menjalani siklus berikutnya.

Dalam pandangan Nahdlatul Ulama, kalender Hijriah memiliki ketentuan substansial dan ketentuan prosedural. Ketentuan substansial mengandung nilai–nilai yang tersirat di balik yang tersurat, sebagai ruh yang menjiwai suatu peraturan. Sehingga menjadi tujuan mengapa sebuah aturan ada. 

Ketentuan substansial kalender Hijriah terdiri dari dua, yang pertama berdasarkan al–Qur’an surat at–Taubah ayat 36 yang menegaskan bahwa setahun Hijriah terdiri atas 12 bulan. Tidak bervariasi antara 12 bulan dan 13 bulan sebagaimana jamak dijumpai pada sistem penanggalan lainnya yang sama–sama berbasis peredaran Bulan. 

Dan yang kedua, berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW bahwa bagaimanapun kondisinya apakah Umat Islam bisa membaca–berhitung (berpengetahuan) ataupun belum, maka satu bulan Hijriah memiliki jumlah hari paling sedikit 29 hari dan paling banyak 30 hari. Angka–angka tersebut merupakan perwujudan periode sinodis Bulan yang bisa dibulatkan ke bawah menjadi 29 hari dan dibulatkan ke atas menjadi 30 hari. 

Sementara ketentuan prosedural kalender Hijriah adalah penentuan tanda waktu bulan Hijriah yang berdasarkan atas rukyatul hilal. Hal ini juga mengikuti sabda Nabi Muhammad SAW, bahwa Umat Islam mulai berpuasa Ramadhan dan mengakhiri puasanya (ber–Idul Fitri) atas dasar terlihatnya hilal. Dan apabila hilal tidak terlihat, maka bulan Ramadhan digenapkan menjadi 30 hari (istikmal). Inilah rujukan yang paling kuat dan menjadi pandangan keempat mazhab dalam Ahlussunnah wal jama’ah. 

Nahdlatul Ulama juga berpedoman bahwa bilamana terjadi kontradiksi di antara ketentuan substansial dan prosedural, maka yang diutamakan adalah mempertahankan ketentuan substansial. Ada banyak contoh terkait. Misalnya yang populer adalah persoalan pembagian harta waris yang disebut kasus umariyyatain, karena baru terjadi di masa kepemimpinan sayyidina Umar ibn Khattab. 

Dalam kasus ini, bilamana seorang laki–laki yang telah beristri meninggal dunia sementara ayah dan ibunya masih hidup, maka sang ibu akan mendapatkan 2 bagian sedangkan sang ayah hanya 1 bagian apabila mengikuti ketentuan formal dalam pembagian harta waris. Namun angka–angka tersebut berkebalikan dengan ketentuan substansial pembagian harta waris, sehingga diterapkanlah umariyyatain dimana pada akhirnya sang ibu mendapatkan 1 bagian sementara sang ayah 2 bagian. 

Keputusan Muktamar yang mengatur awal bulan Hijriah

Sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang lebih tua usianya dibanding Republik Indonesia sekaligus badan hukum perkumpulan menurut peraturan perundangan yang berlaku, Nahdlatul Ulama memiliki aturan–aturan organisasi yang sistematis. Salah satunya, adanya forum permusyawaratan tertinggi yang disebut muktamar. Muktamar membahas beragam permasalahan terkait keagamaan, kebangsaan dan kenegaraan yang didiskusikan dan diputuskan dalam komisi bahtsul masail. Yaitu sebuah komisi khusus beranggotakan alim ulama ahli fikih yang membahas permasalahan–permasalahan aktual. 

Seluk–beluk terkait penentuan tanda waktu bulan Hijriah banyak didiskusikan dalam muktamar. Secara keseluruhan terdapat empat keputusan yang memberikan landasan fikih kukuh bagi Nahdlatul Ulama terkait bagaimana menentukan tanda waktu bulan Hijriah. 

Muktamar pertama yang membahas permasalahan ini adalah Muktamar ke–20 di Surabaya pada 8–13 September 1954 M. Keputusannya ditujukan kepada pemerintah RI, dengan harapan agar pemerintah bisa melarang praktik pengumuman awal Ramadhan atau hari raya yang mendahului penetapan Kementerian Agama RI. Bagi warga Nahdlatul Ulama, keputusan ini juga menjadi tafsir resmi terkait teladan pendiri dan pemimpin besar (rais akbar) KH. Hasyim Asy’ari. 

Halaman:


Baca berita tanpa iklan.
Baca berita tanpa iklan.
Komentar
Baca berita tanpa iklan.
Close Ads
Penghargaan dan sertifikat:
Dapatkan informasi dan insight pilihan redaksi 优游国际.com
Network

Copyright 2008 - 2025 优游国际. All Rights Reserved.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses 优游国际.com
atau