KOMPAS.com - Resistansi antibiotik menjadi ancaman besar bagi kesehatan global. Ketika pengobatan lama tidak lagi efektif melawan infeksi, para ilmuwan kini mencari solusi di tempat tak terduga — rawa-rawa dan hutan yang menjadi habitat katak.
Hewan amfibi ini telah bertahan hidup selama lebih dari 200 juta tahun, melewati perubahan ekosistem bumi, dan selama itu mereka mengembangkan mekanisme pertahanan alami yang luar biasa. Mekanisme ini berpotensi menjadi kunci dalam pengembangan antibiotik masa depan.
Katak hidup di lingkungan lembap yang kaya mikroba, tempat di mana bakteri patogen mudah berkembang biak. Namun, yang menarik adalah mereka jarang sekali terinfeksi. Hal ini telah lama membuat para ilmuwan penasaran. Apakah mungkin katak memiliki rahasia biologis yang dapat menyelamatkan nyawa manusia?
Sebuah studi terbaru yang dipimpin oleh Profesor Cesar de la Fuente dari University of Pennsylvania menemukan jawaban atas pertanyaan ini. Timnya mempelajari sistem pertahanan alami katak untuk mendesain antibiotik sintetis yang mampu melawan bakteri resisten.
“Amfibi hidup di lingkungan yang kaya mikroba, namun jarang terinfeksi. Jadi, mereka pasti memproduksi senyawa antimikroba yang melindungi mereka,” kata de la Fuente.
Baca juga: 6 Fakta Antibiotik yang Makin Tak Manjur dan Diprediksi Bunuh 10 Juta Jiwa
Banyak spesies katak menghasilkan peptida antimikroba di kulit mereka. Senyawa ini mampu membunuh bakteri berbahaya saat bersentuhan tanpa memicu resistansi seperti antibiotik konvensional. Salah satu spesies yang menjadi pusat perhatian adalah Odorrana andersonii, yang menghasilkan peptida bernama Andersonnin-D1.
Peptida ini pertama kali ditemukan oleh ilmuwan Tiongkok pada tahun 2012. Andersonnin-D1 terbukti sangat ampuh membunuh bakteri. Namun, ia memiliki kelemahan. Senyawa ini menggumpal saat bereaksi, membuatnya menjadi kurang efektif dan berpotensi toksik. Karena itulah, Andersonnin-D1 tidak dapat langsung digunakan dalam pengobatan medis tanpa modifikasi lebih lanjut.
Tim de la Fuente menggunakan pendekatan desain berbasis struktur untuk memperbaiki Andersonnin-D1. Metode ini memungkinkan para peneliti melakukan perubahan kecil pada urutan molekul dan mengamati dampaknya.
“Dengan desain berbasis struktur, kami mengubah urutan molekul dan melihat bagaimana mutasi itu memengaruhi fungsi yang ingin kami tingkatkan,” jelas Marcelo Torres, rekan penulis studi ini.
Pendekatan ini menghasilkan beberapa peptida sintetis yang mempertahankan kekuatan antimikroba Andersonnin-D1, tetapi tanpa efek samping berbahaya. Versi sintetis ini dirancang dengan presisi tinggi, menjadikannya lebih cocok untuk digunakan dalam pengobatan.
Baca juga: Kebal Antibiotik Bisa Picu Pandemi Tersembunyi, Apa Maksudnya?
Setelah mendesain peptida baru, langkah selanjutnya adalah menguji efektivitasnya. Tim peneliti menguji peptida sintetis ini terhadap berbagai bakteri berbahaya, dan hasilnya sangat menjanjikan. Dalam model praklinis, peptida ini terbukti sekuat polymyxin B — antibiotik terakhir yang digunakan saat semua pengobatan lain gagal.
Lebih penting lagi, peptida sintetis ini menunjukkan tingkat toksisitas yang rendah. Mereka tidak merusak sel manusia dan tidak mengganggu bakteri baik di usus, menjadikannya lebih aman dibanding banyak antibiotik yang ada saat ini.
“Eksperimen ini sangat rumit karena kita harus menumbuhkan berbagai bakteri sekaligus. Kita harus menemukan rasio spesifik setiap bakteri agar dapat mempertahankan komunitas mikroba yang berkelanjutan,” tambah de la Fuente.
Pengujian ini menggunakan model komunitas bakteri yang lebih kompleks, yang mencerminkan kondisi infeksi sebenarnya di dalam tubuh manusia.
Baca juga: Antibiotik Jadi Salah Satu Ancaman Kesehatan Paling Berbahaya di Dunia, Kok Bisa?
Jika penelitian lanjutan menunjukkan hasil positif, tim akan melanjutkan ke tahap Studi Obat Investigasi (IND). Tahap ini bertujuan untuk mengevaluasi keamanan dan efektivitas sebelum obat dapat diajukan ke FDA (Food and Drug Administration) di Amerika Serikat. Setelah lulus tahap ini, barulah peptida dapat diuji dalam uji klinis pada manusia.