KECUALI seseorang siap dengan kontroversi, menilai foto—apalagi dengan penghakiman—di media sosial bisa berujung masalah. Dalam foto jurnalistik, kita belajar dari kesalahan Arbain Rambey dalam menilai keaslian foto peserta lomba.
Adalah unggahan sebuah foto pesawat komersial Citilink terbang rendah berlatar pemukiman di bawahnya yang kemudian harus ditebus mantan editor foto Harian 优游国际 itu dengan permintaan maaf terbuka.
Sebelumnya, Arbain menyebut di Instagram foto tersebut palsu, tanpa mengonfirmasi pemilik fotonya.
Foto yang dimaksud adalah jepretan Hasiholan Siahaan, mantan jurnalis foto yang membangun kariernya di Sindo, lebih dari 20 tahun lalu.
Merasa reputasinya tercoreng karena foto karyanya dianggap palsu, Hasiholan mengajukan somasi pada Kamis (25/7/2024).
Melalui kuasa hukumnya, Perry Hasan Pardede SH, mereka menuntut Arbain melakukan permintaan maaf secara terbuka melalui melalui media cetak, elektronik, dan online termasuk melalui akun media sosial Instagram @arbainrambey dalam waktu selambat-lambatnya 5x24 Jam setelah somasi dilayangkan.
Sepintas foto milik Hasiholan memang tidak lazim bagi orang yang biasa memotret menggunakan drone. Karena drone dilarang terbang di rute pesawat atau mendekati wilayah bandara (no flight zone), dan drone dilarang terbang lebih tinggi dari ketinggian pesawat.
Hal itu membuat foto badan pesawat sedang terbang difoto secara penglihatan burung (bird eye view) seperti mustahil. Padahal, di situasi tertentu pemotretan seperti itu mungkin dilakukan.
Beberapa situasi yang memungkinkan foto tersebut dieksekusi adalah bila penerbangan drone dilakukan melalui izin khusus dan diawasi oleh otoritas terkait, atau melakukan pemotretan dari pesawat lain atau jet militer.
Pengetahuan bagaimana suatu pemotretan dilakukan adalah salah satu penguasaan literasi visual.
Literasi visual adalah satu set kompetensi dalam membaca, memaknai, dan menciptakan visual.
Fotografi adalah salah satu bentuk visual, selain poster, iklan, kartun, lukisan, komik, grafis, ikon, diorama, peta, film, foto, meme, rambu-rambu, papan petunjuk, simbol, diagram, serta video.
Seseorang yang terliterasi secara visual, misalnya fotografi, diharapkan mampu menangkap pesan foto, memaknai atau menegosiasikan pesan di dalamnya, dan di derajat tertentu bisa menciptakan atau setidaknya membayangkan bagaimana foto tadi diciptakan.
Seringkali untuk pembaruan pengetahuan kita perlu mempraktikan unlearning, yaitu menanggalkan wawasan lama untuk menyerap pengetahuan baru.
Literasi visual fotografi tak hanya diperlukan bagi jurnalis foto dan fotografer, tapi juga semua orang.