Meta, perusahaan teknologi besar (big tech), saat ini sedang mengembangkan alat AI berbasis telepati secara komesial. Produk teknologi ini bisa membaca gelombang otak, dan mengubahnya menjadi kata-kata dan teks.
Jika teknologi ini berhasil secara masif dikomersialkan, maka banyak orang di dunia yang awalnya kehilangan suara, akan tetap bisa berkomunikasi tanpa perlu berkata-kata.
Sebelumnya memang sudah ada invensi pendahulu terkait hal ini. Hal itu seperti dirilis Neuralink “Redefining the boundaries of human capabilities requires pioneers.”
Dikatakan bahwa antamuka otak-komputer besutan mereka dapat ditanamkan, tidak terlihat secara kosmetik, dan dirancang untuk memungkinan sesorang mengendalikan komputer atau perangkat seluler, di mana pun berada.
Dipubliksikan The Standard “What is Neuralink and how does it work? First implant detached from patient's brain” (13/05/2024), Neuralink adalah perusahaan yang didirikan oleh Elon Musk yang mengembangkan teknologi antarmuka otak-komputer (Brain-Computer Interface-BCI).
Produk yang disebut Telepathy, memungkinkan pengguna mengontrol perangkat elektronik hanya dengan berpikir.
Sasaran utama dari teknologi ini untuk membantu individu yang mengalami keterbatasan fisik, seperti kelumpuhan agar dapat berkomunikasi lebih cepat dan lebih mudah.
Sejarah penelitian tentang BCI telah berlangsung sejak 1970-an, dengan berbagai eksperimen dan inovasi, yang mengarah pada pengembangan implan yang semakin canggih, termasuk yang dikembangkan oleh Neuralink.
Laporan itu menyebut, Neuralink bekerja dengan cara menanamkan dua komponen utama di dalam tengkorak pengguna. Casing luar berisi baterai dan chip yang memungkinkan komunikasi nirkabel dengan perangkat lain.
Sementara bagian kedua, yang disebut renda saraf, terdiri dari 1.024 elektroda yang tertanam di otak untuk membaca aktivitas neuron.
Data ini diterjemahkan menjadi perintah yang memungkinkan pengguna mengontrol komputer atau bahkan perangkat prostetik.
Pemasangan implan ini dilakukan dengan menggunakan robot bedah, guna memastikan akurasi tinggi dan mengurangi risiko komplikasi.
Neuralink telah mendapat persetujuan dari FDA untuk uji klinis pada manusia, dengan implan pertama dilakukan pada Januari 2024. Uji klinis bertujuan mengevaluasi stabilitas dan manfaat jangka panjang dari teknologi ini.
Laporan The Standard mengkritisi, meskipun Elon Musk dikenal dengan pendekatan yang ambisius dalam mempromosikan proyeknya, para ahli menekankan bahwa kesuksesan Neuralink harus dinilai berdasarkan efektivitasnya dalam jangka panjang.
Salah satu tantangan utama dalam penggunaannya adalah bagaimana pengguna dapat beradaptasi dengan sistem dan mengendalikan perangkat dengan cara yang alami.
Laporan itu menyebut, Neuralink juga menghadapi berbagai kontroversi, terutama terkait etika dan keselamatan. Uji coba pada hewan telah mengorbankan lebih dari 1.500 hewan, termasuk monyet dan babi, yang menyebabkan penyelidikan oleh otoritas federal AS.
Selain itu, ada risiko medis seperti infeksi dan potensi kerusakan otak bagi pengguna manusia.
Meskipun demikian, jika berhasil, maka teknologi ini berpotensi merevolusi cara manusia berinteraksi dengan dunia digital dan memberikan harapan baru bagi individu dengan disabilitas.
Jika merunut sejarah, sebenarnya hampir 4 tahun yang lalu, University of California San Francisco telah melaporkan invensi baru berjudul “Neuroprosthesis” Restores Words to Man with Paralysis Technology Could Lead to More Natural Communication for People Who Have Suffered Speech Loss”, yang ditulis Robin Marks (14/07/2021).
Saat itu, para peneliti di University of California San Francisco berhasil mengembangkan "neuroprostesis bicara" yang memungkinkan seorang pria dengan kelumpuhan parah, berkomunikasi dalam kalimat, menerjemahkan sinyal dari otaknya ke saluran vokal, langsung menjadi kata-kata yang muncul sebagai teks di layar.
Hal ini merupakan upaya lebih dari satu dekade oleh ahli bedah saraf UCSF Edward Chang, dalam mengembangkan teknologi, yang memungkinkan orang dengan kelumpuhan berkomunikasi, bahkan jika mereka tidak dapat berbicara sendiri.
Chang menanamkan rangkaian elektroda kepadatan tinggi melalui pembedahan di atas korteks motorik bicara BRAVO1.
Setelah partisipan pulih sepenuhnya, timnya merekam 22 jam aktivitas saraf di wilayah otak ini, selama 48 sesi dan beberapa bulan.
Dalam setiap sesi, BRAVO1 mencoba mengucapkan masing-masing dari 50 kosakata berkali-kali, sementara elektroda merekam sinyal otak.
Non-invansif invensi baru Meta
Memasuki Februari 2025, Meta dalam rilis resmi terbarunya “Brain-to-Text Decoding: A Non-invasive Approach via Typing” (06/02/2025) mempublikasikan inovasi mencengangkan yang jauh lebih canggih.
Big Tech ini memperkenalkan metode non-invasif, untuk memproduksi kalimat dari aktivitas otak. Mereka telah menunjukkan keberhasilannya dalam uji coba atas 35 relawan sehat.
Inovasi ini lebih revolusioner dari invensi sebelumnya menggunakan metode invasif yang mengandung risiko yang melekat pada bedah saraf.
Seperti diketahui, metode invasif adalah prosedur medis, yang dilakukan dengan sengaja untuk intervensi ke dalam tubuh pasien melalui sayatan, tusukan, atau lubang alami, dalam rangka diagnosis atau perawatan pasien.
Meta mengumumkan decoding otak ke teks dengan pendekatan non-invasif melalui pengetikan yang tentunya lebih praktis, tak menyulitkan dan membuat pasien atau pengguna lebih nyaman.
Secara keseluruhan, invensi ini mempersempit kesenjangan antara metode invasif dan non-invasif dan dengan demikian membuka jalan untuk pengembangan antarmuka otak-komputer yang aman bagi pasien yang tidak dapat berkomunikasi.
Terkait topik ini, MIT Technology Review mempublikasikan laporan penelitian yang ditulis Antonio Regalado berjudul “Meta has an AI for brain typing, but it’s stuck in the lab” (07/02/2025).
Laporan itu menyatakan bahwa Meta yang sebelumnya dikenal sebagai Facebook, mengembangkan teknologi membaca pikiran yang memungkinkan seseorang mengetik hanya dengan berpikir.
Proyek ini, pertama kali diumumkan pada 2017, kini telah terealisasi meskipun masih dalam skala laboratorium.
Teknologi ini menggunakan pemindai magnetik untuk menganalisis aktivitas otak saat seseorang mengetik, dan memprosesnya dengan jaringan saraf dalam.
Studi yang dilakukan menunjukkan tingkat akurasi cukup tinggi mencapai 80 persen, dalam menentukan huruf yang diketik oleh seorang pengguna terampil.
Meskipun demikian, teknologi ini masih memiliki keterbatasan, seperti ukuran yang besar dan alat yang cukup berat sehingga kurang praktis dan biaya tinggi, sehingga belum dapat digunakan sebagai produk komersial.
Dalam penelitian lanjutan, Meta menemukan bahwa produksi bahasa dalam otak berlangsung secara hierarkis, dimulai dari pemrosesan kalimat hingga huruf individual.
Wawasan ini dapat menjadi dasar dalam pengembangan AI yang lebih canggih, terutama dalam pemrosesan bahasa alami.
Etika dan hukum
Namun, ada banyak pertanyaan penting yang kemudian muncul. Apakah alat ini aman, tak melanggar etika dan hukum. Bagaimana jika data pikiran seseorang disalahgunakan.
Jika AI bisa membaca pikiran seseorang, apakah akan berarti seseorang tidak bisa menyembunyikan apa pun lagi?
Hal yang juga menarik adalah, apakah teknologi ini bisa digunakan dalam penegakan hukum. Misalnya untuk memeriksa terdakwa yang tidak jujur dan selalu berbohong.
Hal yang perlu diingat, pikiran dan keinginan seseorang tidak selalu diwujudkan dalam tindakan. Seseorang bisa saja memikirkan sesuatu tanpa benar-benar ingin melakukan atau mewujudkannya.
Dalam hukum misalnya, yang menjadi dasar pertanggungjawaban adalah perbuatan nyata, bukan sekadar pikiran atau keinginan yang tidak direalisasikan.
Jika alat ini digunakan tanpa aturan yang jelas, bisa saja seseorang dianggap bersalah hanya karena pikirannya, bukan karena perbuatannya.
Perlu ada pedoman etika dan regulasi yang jelas, terkait penggunaan teknologi ini. Pelindungan terhadap kebebasan berpikir, privasi, serta batasan dalam penegakan hukum harus diatur secara benar.
Ke depan, semua ini harus menjadi bagian dari materi muatan UU AI yang komprehensif, agar inovasi tetap diabdikan untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan tidak disalahgunakan.
/tren/read/2025/02/18/094617965/luar-biasa-ai-bisa-menerjemahkan-pikiran-jadi-teks-secara-non-invasif