Tim Redaksi
KOMPAS.com - Dewi Sartika merupakan pahlawan nasional yang berjasa dalam memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan dan kesetaraan gender.
Salah satu bentuk perjuangan Dewi Sartika adalah mendirikan sekolah perempuan, yakni Sakola Istri pada 16 Januari 1904, yang kemudian berubah nama menjadi Sakola Keutamaan Istri.
Dewi Sartika tidak hanya ingin memajukan perempuan dari kalangan priayi sepertinya, tetapi semua kalangan perempuan, agar berkesempatan untuk belajar membaca dan menulis.
Bagi Dewi Sartika, kunci untuk membuat perempuan menjadi mandiri, berpengetahuan, dan dapat memperjuangkan haknya, hanyalah melalui pendidikan.
Prestasi Dewi Sartika dalam mengembangkan pendidikan perempuan bahkan mendapat apresiasi dari Pemerintah Hindia Belanda.
Berikut ini biografi singkat Dewi Sartika.
Baca juga: Sejarah Sekolah Kartini, Lahir dari Semangat Emansipasi RA Kartini
Raden Dewi Sartika lahir di Bandung, Jawa Barat, pada 4 Desember 1884.
Dewi Sartika berasal dari keluarga bangsawan Sunda. Ia merupakan anak kedua dari empat bersaudara.
Ayah Dewi Sartika bernama Raden Rangga Somanagara, seorang patih di Bandung, dan ibunya bernama Raden Ayu Rajapermas.
Ibunya adalah putri dari Raden Aria Adipati Wiranatakusumah IV, bupati Bandung yang menjabat antara 1846 hingga 1874.
Lahir dari keluarga bangsawan, sedari kecil Dewi Sartika hidup berkecukupan di lingkungan pendopo dalem.
Baca juga: Biografi RA Kartini, Pejuang Emansipasi Perempuan dari Jepara
Latar belakang keluarga menyumbang banyak bagi perkembangan karakter tokoh Dewi Sartika.
Ayahnya mementingkan pendidikan anak-anaknya, termasuk pendidikan bagi anak perempuan, yang pada masa itu masih dipandang sebelah mata.
Berkat pemikiran maju ayahnya, Dewi Sartika dapat mengenyam bangku pendidikan di Eerste Klasse School atau Sekolah Kelas Satu, yang dibuka Pemerintah Hindia Belanda untuk anak-anak priayi dan warga Eropa di Indonesia.
Eerste Klasse School adalah cikal bakal Sekolah Dasar atau Hollandsch Inlandsche School (HIS), yang dikembangkan setelah diberlakukan Politik Etis pada tahun 1900.
Di Eerste Klasse School, Dewi Sartika belajar membaca, menulis, berhitung, bahasa Belanda, dan bahasa Inggris, bersama keturunan ningrat lainnya dan putra-putri orang Eropa.
Sayangnya, Dewi Sartika tidak mengenyam pendidikan di sini hingga lulus. Pada 1893, di usia sembilan tahun, ia terpaksa keluar karena ayahnya diasingkan ke Ternate oleh pemerintah Hindia Belanda.
Baca juga: Soesalit Djojoadhiningrat, Putra Tunggal RA Kartini
Pada pertengahan Juli 1893, setelah keputusan mengenai ayahnya keluar, kehidupan Dewi Sartika berubah drastis karena sang ibu mengikuti ayahnya ke pengasingan.
Tidak hanya itu, penyitaan harta benda keluarga memaksa putra-putri Somanagara hidup dengan kerabat.
Dewi Sartika dititipkan kepada keluarga kakak kandung ibunya, Raden Demang Suria Karta Hadiningrat, yang saat itu menjabat Patih Afdeling Cicalengka, sedangkan saudara-saudaranya dititipkan pada keluarga di Bandung.
Tidak hanya hidup terpisah, Dewi Sartika dan saudara-saudaranya harus menerima dicap sebagai anak pemberontak dan dikucilkan masyarakat.
Didikan keluarga dan pengalaman pendidikannya membuat Dewi Sartika tumbuh menjadi perempuan yang pintar, supel, tegas, mempunyai sifat kepemimpinan dan prinsip.
Sikap kritis dan jiwa sosialnya semakin tumbuh ketika bergaul dengan gadis-gadis dari kalangan bangsawan di lingkungan Patih Aria Cicalengka.
Mmeski dipandang terhormat dalam masyarakat feodal, ternyata mereka masih buta huruf dan pengetahuannya kurang.
Baca juga: Kisah Perjuangan RA Kartini
Kondisi tersebut mendorong Dewi Sartika untuk memulai upaya perubahan bagi kaum perempuan, dengan mengajari teman-teman barunya membaca, menulis, dan berhitung.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.