KOMPAS.com - Bayangkan kamu terlahir sebagai perempuan di masa lalu, di tanah nusantara yang masih dijajah. Keluar rumah harus seizin keluarga, berbicara dibatasi, sekolah? Bahkan memimpikannya pun dianggap tak pantas.
Perempuan ditempatkan hanya sebagai pelengkap, bukan sebagai subjek yang punya suara. Beginilah potret kelam sejarah pendidikan perempuan di Indonesia sebelum munculnya sosok revolusioner bernama Raden Ajeng Kartini.
Ia bukan hanya nama dalam buku sejarah. Ia adalah percikan awal kesadaran, bahwa perempuan juga punya hak untuk berpikir, belajar, dan berkarya.
Baca juga: Biografi RA Kartini, Pejuang Emansipasi Perempuan
Mimpi Kartini tentang kesetaraan pendidikan bagi perempuan menjadi tonggak penting dalam sejarah pendidikan perempuan di Indonesia, yang terus diperjuangkan hingga Hari Kartini 21 April 2025 demi menciptakan masa depan yang lebih inklusif dan setara.
Yuk kita simak perjuangan Kartini dalam membangun kesetaraan pendidikan bagi perempuan di Indonesia!
Sebelum abad ke-20, perkembangan pendidikan perempuan nyaris tidak ada.
Menurut Ardiansyah, dkk dalam jurnal berjudul Pendidikan Telaah Kritis Paradigma dan Problematika Perempuan di Indonesia (2024), selama masa penjajahan Belanda, akses pendidikan sangat terbatas untuk perempuan.
Pendidikan lebih diperuntukkan bagi laki-laki dari kalangan bangsawan. Perempuan hanya diberi pelajaran domestik seperti menjahit, memasak, atau mengurus rumah tangga.
Bahkan bagi bangsawan perempuan seperti Kartini, pendidikan formal hanya berlangsung sebentar, sebelum masa “pingitan” tiba. Pingitan adalah tradisi di mana gadis remaja dilarang keluar rumah hingga menikah.
Paradigma patriarki semakin menebal karena pengaruh kolonial. Masyarakat memandang bahwa perempuan cukup menjadi istri yang baik, tanpa perlu pendidikan tinggi. Pandangan seperti inilah yang coba dilawan oleh Kartini lewat pemikirannya.
Baca juga: Sikap Teladan dari Raden Ajeng Kartini
Cerita Kartini dan pendidikan berawal dari keresahannya terhadap realitas perempuan yang dibatasi oleh adat.
Menurut Fitriani dan Anisah Fitri Melenia dalam Potret Sejarah Pendidikan Perempuan: Studi Tentang Pendidikan Perempuan di Indonesia (2024), Kartini sadar bahwa hanya pendidikan yang bisa membuka jalan emansipasi bagi perempuan.
Kartini mulai berkirim surat dengan teman-teman dari Belanda. Ia membaca buku-buku yang memperluas wawasannya. Di tengah keterbatasan budaya, ia tetap melawan, bukan dengan teriakan, tapi dengan pena dan pemikiran.
Ia menganjurkan emansipasi perempuan, bukan agar perempuan melawan laki-laki, tapi agar mereka punya kemampuan mendidik generasi masa depan dengan bijak dan berdaya.
Baca juga: Pengertian Emansipasi Wanita
Pemikiran Kartini perlahan membentuk langkah konkret.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.