KOMPAS.com - Setiap tahun, umat Kristiani di seluruh dunia memperingati Pekan Suci—rentang waktu dari Minggu Palma hingga Paskah—sebagai momen sakral untuk mengenang penderitaan, kematian, dan kebangkitan Yesus Kristus. Namun, di balik ritual dan doa yang menyelimuti pekan tersebut, para ahli Alkitab dan sejarawan masih berusaha memecahkan misteri sejarah: bagaimana sebenarnya peristiwa-peristiwa terakhir dalam kehidupan Yesus terjadi?
Getsemani: Di Balik Sunyi, Datang Pengkhianatan
Malam itu, setelah perjamuan Paskah bersama para muridnya—yang dikenal sebagai Perjamuan Terakhir—Yesus menarik diri ke sebuah taman sunyi di kaki Bukit Zaitun: Taman Getsemani. Di situlah, dalam hening dan doa, sebuah pengkhianatan mengoyak lingkaran terdekatnya.
Yudas Iskariot, salah satu dari dua belas muridnya, membawa para penjaga Bait Allah ke tempat persembunyian Yesus. Dengan sebuah ciuman, tanda pengenalannya, Yesus pun ditangkap. Tuduhannya? Kerusuhan di Bait Allah sehari sebelumnya—saat Yesus menggulingkan meja para penukar uang di halaman suci itu.
Yesus langsung dibawa ke rumah pribadi Kayafas, Imam Besar Yahudi saat itu. Kenapa secara tertutup? Banyak ahli percaya bahwa Kayafas berusaha menghindari debat terbuka di hadapan Sanhedrin, dewan agama Yahudi, karena beberapa anggotanya—terutama dari golongan Farisi—diyakini bersimpati pada Yesus. Dengan demikian, keputusan diambil secara diam-diam.
Saat itulah Kayafas bertanya langsung: “Apakah Engkau Mesias?”
Yesus menjawab dengan mengutip kitab suci: “Akulah Dia... Kamu akan melihat Anak Manusia duduk di sebelah kanan Yang Mahakuasa.” (Markus 14:62)
Kutipan ini—yang bagi orang Yahudi merupakan harapan akan kedatangan seorang penyelamat—bisa ditafsirkan sangat berbeda di mata penguasa Romawi. Seorang “raja” rohani bisa dianggap sebagai pemberontak politik. Kayafas tahu, untuk menjatuhkan hukuman mati, ia membutuhkan restu dari otoritas Romawi.
Pontius Pilatus: Hakim di Tengah Tekanan Politik
Pontius Pilatus, gubernur Romawi untuk wilayah Yudea, adalah satu-satunya tokoh yang secara hukum dapat menjatuhkan hukuman mati. Ia datang ke Yerusalem saat Paskah bukan untuk beribadah, tetapi untuk mencegah potensi kerusuhan. Paskah adalah masa sensitif, dengan ribuan orang Yahudi memadati kota suci itu.
Dalam Injil Markus, pertemuan antara Yesus dan Pilatus terjadi keesokan paginya setelah interogasi Kayafas. “Pagi-pagi benar, mereka membawa Yesus kepada Pilatus.” (Markus 15:1)
Di sinilah muncul pertanyaan: apakah proses ini benar-benar terjadi secepat itu?
Beberapa sejarawan mencurigai bahwa narasi Injil meringkas jalannya waktu demi narasi yang padu dan dramatis. Meski umat Kristen mengenangnya sebagai Pekan Suci, bisa jadi peristiwa aslinya berlangsung dalam hitungan minggu, bukan hari.
Injil menggambarkan proses pengadilan yang menarik. Para imam Yahudi bertindak sebagai penuduh utama—sebuah posisi yang dalam hukum Romawi dikenal sebagai delatores. Pilatus, sang hakim, harus menyelidiki kasus ini sendiri karena bukti-bukti yang diajukan lemah.
Pilatus kemudian menjalankan semacam sidang. Dalam Injil Yohanes, terjadi dialog filosofis antara dua tokoh dengan dunia yang berbeda. Pilatus bertanya:
“Apakah Engkau raja orang Yahudi?”
Yesus menjawab, “Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini.” (Yohanes 18:36)
Namun, di tengah tekanan massa dan tuntutan dari para imam Yahudi, Pilatus akhirnya menyerah, meskipun ia berkata, “Aku tidak menemukan kesalahan pada orang ini.” (Yohanes 18:38). Bahkan dalam Injil Matius, Pilatus mencuci tangannya sebagai simbol bahwa keputusan bukan berasal darinya.
Di sisi lain, Injil Markus memberikan versi yang lebih lugas. Tidak ada debat panjang, hanya satu pertanyaan:
“Engkaukah raja orang Yahudi?”
“Engkau sendiri mengatakannya,” jawab Yesus (Markus 15:2). Dalam hukum Romawi, mengaku sebagai raja tanpa izin dari Roma sama artinya dengan makar. Dan makar hanya punya satu konsekuensi: penyaliban.
Di Mana Semua Ini Terjadi?
Lokasi pengadilan Yesus hingga kini masih diperdebatkan. Injil menyebut tempat itu sebagai “praetorium”, kediaman resmi gubernur Romawi. Dua kandidat utama muncul: Istana Herodes dan Benteng Antonia.
Istana Herodes menawarkan kenyamanan dan kemewahan. Tapi Benteng Antonia—yang berdampingan dengan Bait Allah dan menjadi markas militer Roma—lebih strategis, terutama dalam masa rawan pemberontakan seperti Paskah. Banyak ahli, merujuk juga pada Kisah Para Rasul tentang penahanan Rasul Paulus di “barak”, menduga Benteng Antonia adalah tempat paling mungkin. Namun beberapa lainnya, menganggap Istana Herodes lebih sesuai.
Demikian pula dengan tempat penyaliban: Golgota atau “Bukit Tengkorak”. Meski nama ini dikenal luas, lokasi persisnya masih menjadi misteri. Kota Yerusalem telah hancur dan dibangun ulang berkali-kali sejak abad pertama. Tembok kota, jalur Via Dolorosa, semuanya telah berubah.
Namun, misteri lokasi ini tidak menghalangi jutaan peziarah dari seluruh dunia untuk datang setiap tahun, menginjak tempat yang diyakini sebagai jalan salib dan makam suci.
Ketika Sejarah dan Iman Bersinggungan
Mengapa begitu banyak hal masih kabur? Karena sejarah kuno jarang memberi kita kronologi yang jelas. Catatan tertulis terbatas, dan narasi seringkali ditulis dengan tujuan teologis, bukan dokumenter.
Namun, seperti yang dikatakan oleh seorang sejarawan, “Iman tidak memerlukan peta arkeologi.” Bagi umat Kristen, kebenaran spiritual tidak bergantung pada koordinat GPS.
Pekan Suci tetap hidup—bukan karena semua detail sejarahnya bisa diverifikasi, tetapi karena makna pengorbanannya melampaui waktu dan tempat. Misteri itu, justru memberi ruang bagi keheningan, renungan, dan pencarian pribadi yang terus berlangsung sejak dua ribu tahun lalu.
/sains/read/2025/04/19/120000323/antara-sejarah-dan-iman-bagaimana-hari-hari-terakhir-yesus-berlangsung-