BANYAK orang terjerambab pada hoaks karena tidak mawas diri. Mereka semata-mata mendasarkan diri pada keyakinan tanpa melakukan verifikasi atas informasi yang datang pada mereka.
Padahal, keyakinan itu tidak sama dengan kebenaran.
Suatu siang anak saya pulang sekolah sehabis penilaian akhir semester.
“Gimana, bisa enggak?” tanya saya.
“Gampang, Pa. Aku yakin enggak bakal remedial,” jawab anak saya mantap.
Kurang lebih seminggu kemudian, anak saya laporan sambil tertawa, ”Remedial, Pa...hahaha...”
Keyakinan anak saya tidak sama dengan kebenaran jawaban soal ujian.
Anda mungkin juga punya pengalaman yang sama. Pernahkah Anda mengalami salah jalan dalam perjalanan, padahal Anda yakin jalan yang Anda lewati adalah jalan yang benar? Saya pernah beberapa kali. Hati-hati dengan keyakinan Anda.
Contoh lain, di beberapa grup WhatsApp yang saya ikuti seringkali terjadi perdebatan seru atas suatu topik, kadang topik kesehatan, pendidikan, politik, dan berbagai topik lainnya. Lucunya, perdebatan itu acapkali didasari pada keyakinan masing-masing pihak.
Pernah ada perdebatan seru soal vaksin. Yang satu bilang tidak percaya pada vaksin, satu lagi provaksin. Dalilnya adalah ayat-ayat kitab suci. Yang terjadi kemudian adalah debat kusir tanpa ujung.
Dalam hidup, kita memang harus memiliki keyakinan. Namun, keyakinan pada satu sisi sungguh rawan dan membahayakan. Jika keyakinan sudah mengakar, fakta-fakta empirik yang disuguhkan pun tidak mampu mengubah keyakinan tersebut.
Keyakinan memang tidak untuk diperdebatkan, hanya untuk dihormati. Apalagi dalam konteks sebaran informasi palsu atau hoaks.
Untuk membuktikan bahwa informasi itu benar atau salah, kita harus mendapatkan bukti. Melakukan verifikasi.
Beberapa waktu lalu, sempat ramai di media sosial video Presiden Jokowi berpidato dalam bahasa China. Di awal-awal video itu beredar, banyak unggahan bernada negatif terhadap Jokowi.
Video itu seolah meneguhkan keyakinan sejumlah netizen bahwa Jokowi merupakan antek negeri tira bambu.
Faktanya, video tersebut adalah hoaks, hasil manipulasi artificial intelligent (AI).
Baca juga: Hasil Manipulasi AI, Video Pidato Jokowi Berbahasa China
Tidak sulit membuat video manipulasi seperti itu. Di era AI saat ini, ada banyak aplikasi di playstore atau appstore yang bisa melakukannya dalam sekejap.
Bahkan, foto bisa dimanipulasi menjadi video dan mulut orang pada foto bergerak-gerak mengikuti suara yang ditempelkan pada foto. Dalam video berdurasi 80 detik itu, gerak mulut Jokowi sesuai dengan bahasa Mandarin yang diucapkan.
Hasil penelusuran Tim cek fakta 优游国际.com dengan aplikasi AI Voice Detector menunjukkan, 71,53 persen suara berbahasa China tersebut merupakan hasil rekayasa AI. Aslinya, Jokowi berpidato dalam bahasa Inggris pada acara Kamar Dagang Amerika Serikat (AS) bersama Dewan Bisnis AS-ASEAN.
Dalam psikologi ada istilah bias konfirmasi. Ini adalah salah satu bias kognitif yang terkenal di antara 188 bias kognitif yang diketahui.
Bias konfirmasi adalah kecenderungan seseorang untuk mencari, menginterpretasikan, dan mengingat informasi yang memperkuat keyakinan atau pandangan yang dimilikinya.
Ini berarti, seseorang itu cenderung mencari bukti yang mendukung apa yang sudah ia percayai sebelumnya, sambil mengabaikan atau mengurangi bobot informasi yang bertentangan dengan keyakinannya.
Konsep bias konfirmasi secara formal dipelajari dan diperkenalkan oleh psikolog kognitif Peter Wason pada 1960-an.
Wason melakukan serangkaian eksperimen yang dikenal sebagai "Wason Selection Task" yang menyoroti kecenderungan manusia untuk mencari konfirmasi atas hipotesis yang sudah ada daripada mencari bukti yang dapat menguji hipotesis tersebut.
Namun, jauh sebelum penelitian Wason, Francis Bacon, seorang filsuf dan tokoh penting dalam sejarah ilmu pengetahuan, telah menyatakan soal kecenderungan bias ini dalam esainya Novum Organum pada 1620.