KOMPAS.com - Setelah Perang Dunia II usai, usaha Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menegakkan perdamaian dunia belum berhasil.
Pasalnya, kekuatan politik dunia terpolarisasi menjadi dua kubu, yakni Blok Barat pimpian Amerika Serikat dan Blok Timur yang dipimpin Uni Soviet.
Dunia resmi memasuki Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet yang berbeda ideologi dan sama-sama ingin menyebarkan pengaruhnya di dunia.
Di masa Perang Dingin (1947-1991), lahir Konferensi Asia Afrika (KAA) dan Gerakan Non-Blok (GNB), yang saling berkaitan.
Apa hubungan antara Konferensi Asia Afrika dengan Gerakan Non-Blok?
Baca juga: Persamaan dan Perbedaan Konferensi Asia Afrika dan Gerakan Non-Blok
Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955 disebut sebagai cikal bakal terbentuknya Gerakan Non-Blok (GNB).
Lahirnya KAA dan GNB sama-sama berangkat dari keprihatinan akan situasi dunia setelah berakhirnya Perang Dunia II, yang segera memasuki Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur.
Blok Barat (liberalis-demokratis) terdiri dari Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Belanda, Belgia, Norwegia, Kanada.
Blok Timur (sosialis-komunis) terdiri dari Uni Soviet, Cekoslovakia, Rumania, Jerman Timur.
Negara-negara yang tidak termasuk dalam Blok Timur maupun Barat kerap disebut sebagai negara dunia ketiga.
Negara-negara dunia ketiga di Asia dan Afrika kerap menjadi obyek perebutan pengaruh oleh Blok Barat dan Blok Timur.
Baca juga: Peran Indonesia dalam Gerakan Non Blok
Berangkat dari permasalahan itu, Indonesia, Myanmar, Sri Lanka, India, dan Pakistan menggagas penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika (KAA).
Konferensi yang dilaksanakan di Bandung, Jawa Barat, ini berlangsung antara 18 April hingga 24 April 1955.
KAA, yang dihadiri oleh 29 negara negara di Asia dan Afrika, menghasilkan 10 prinsip yang kemudian dikenal sebagai Dasasila Bandung.
Dasasila Bandung pada prinsipnya sangat menjunjung tinggi hak dasar manusia, integritas dan kedaulatan negara, persamaan hak semua suku dan bangsa, dan asas kebersamaan.