KOMPAS.com - Pengamat properti Ali Tranghanda menilai pendekatan penyaluran Kredit Pemilikan Rumah (KPR) berbasis profesi sebagai salah satu alternatif untuk mempercepat penyerapan kuota rumah subsidi.
Skema ini menyasar kelompok profesi tertentu seperti guru, tenaga kesehatan, wartawan, hingga pekerja sektor informal dengan harapan bantuan perumahan lebih tepat sasaran.
Kendati berpotensi mempercepat penyaluran, Ali mengatakan, namun efektivitas pendekatan ini masih perlu diuji.
Menurutnya, meskipun skema KPR subsidi seragam, kemampuan finansial tiap profesi berbeda.
Baca juga: Lokasi Rumah Subsidi untuk Guru, Ojol, Buruh, dan Wartawan
"Tantangan utama adalah menjangkau pekerja sektor informal karena kendala persyaratan formal seperti slip gaji dan NPWP," ujar Ali dalam keterangan tertulis yang diterima 优游国际.com, Senin (21/4/2025).
Ali menyarankan solusi melalui asosiasi atau koperasi sebagai penjamin penghasilan.
Dari sisi supply, pengembang dinilai sudah siap dengan banyaknya rumah subsidi siap huni yang belum terserap akibat keterbatasan kuota.
Ali juga membantah kekhawatiran diskriminasi, bahwa pendekatan profesi adalah alternatif percepatan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) untuk memiliki hunian.
Sebagaimana diketahui, muncul penolakan dari sejumlah organisasi profesi wartawan seperti AJI, PFI, dan IJTI.
Ketiga organisasi wartawan ini menolak program rumah subsidi bagi jurnalis karena khawatir akan independensi.
Baca juga: Syarat Nakes Dapat Rumah, Gaji Maksimal Rp 7 Juta Per Bulan
Mereka menyarankan fokus pada persyaratan kredit yang terjangkau bagi semua, dan Dewan Pers tidak perlu terlibat.
"Beberapa asosiasi wartawan memang menolak dan mengangkat isyu independensi. Saya kira, itu pilihan mereka, nggak masalah, inilah demokrasi. Tapi, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sebagai asosiasi wartawan terbesar kan mau menerima, saya kira sudah mewakili," tuturnya.
Menurut Ali, Indonesia masih menghadapi tantangan besar untuk mengatasi krisis backlog perumahan. Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan kuota Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).
"Kuota FLPP tiap tahun cepat habis, bahkan bisa di pertengahan tahun. Idealnya, pemerintah menyediakan 400.000–500.000 unit per tahun," ungkapnya.
Selain itu, ketersediaan lahan murah menjadi hambatan besar. Kehadiran Badan Bank Tanah (BBT) menjadi solusi penting karena lokasi proyek FLPP saat ini banyak yang terlalu jauh dan kurang layak huni.