KOMPAS.com - Perayaan Imlek tidak lengkap tanpa kehadiran kue keranjang, makanan khas yang memiliki sejarah panjang dan makna mendalam.
Dibuat dari tepung ketan, kue keranjang tidak hanya disukai karena rasa manis dan teksturnya yang kenyal, tetapi juga karena simbolisme yang melekat.
Berikut ini sejarah kue keranjang dan cara mengolahnya agar lebih nikmat disajikan sebagai hidangan khas Imlek.
Baca juga:
Dalam buku Kepingan Narasi Tionghoa Indonesia: The Untold Histories karya Hendra Kurniawan, dijelaskan bahwa sejarah pembuatan kue keranjang bermula ketika China dilanda paceklik.
Menurut legenda China, penduduk di daerah yang dilanda kekeringan kala itu, mengungsi ke wilayah subur.
Mereka kemudian membuat makanan yang tahan lama dan mengenyangkan untuk bekal perjalanan menuju daerah subur.
Oleh karena itu, penduduk China kala itu mencairkan gula kemudian diaduk bersama tepung ketan dan dikukus.
Adonan itu kemudian dicetak menggunakan keranjang-keranjang bulat berdiameter 8-10 cm yang telah dilapisi daun pisang atau plastik.
Dalam perkembangannya, kue keranjang kemudian dijadikan hidangan yang wajib ada dalam perayaan Imlek.
Saat persembahyangan Imlek, kue keranjang biasanya disusun bertingkat meninggi sebagai harapan peningkatan rezeki dan kemakmuran di tahun yang akan datang.
Rasa kue keranjang yang sangat manis dan teksturnya yang lengket memberi makna eratnya persatuan dan kerukunan dalam masyarakat Tionghoa.
Nama "kue keranjang" berasal dari proses pembuatannya yang dicetak menggunakan wadah berbentuk keranjang.
Kue ini juga memiliki sebutan lain seperti kue bakul, kue manis, atau dodol China.
Dalam bahasa Mandarin, kue ini disebut nian gao, yang secara harfiah berarti "kue lengket".
Kata ini juga memiliki makna filosofis, yaitu "kemakmuran yang meningkat setiap tahun".