Secara keseluruhan, invensi ini mempersempit kesenjangan antara metode invasif dan non-invasif dan dengan demikian membuka jalan untuk pengembangan antarmuka otak-komputer yang aman bagi pasien yang tidak dapat berkomunikasi.
Terkait topik ini, MIT Technology Review mempublikasikan laporan penelitian yang ditulis Antonio Regalado berjudul “Meta has an AI for brain typing, but it’s stuck in the lab” (07/02/2025).
Laporan itu menyatakan bahwa Meta yang sebelumnya dikenal sebagai Facebook, mengembangkan teknologi membaca pikiran yang memungkinkan seseorang mengetik hanya dengan berpikir.
Proyek ini, pertama kali diumumkan pada 2017, kini telah terealisasi meskipun masih dalam skala laboratorium.
Teknologi ini menggunakan pemindai magnetik untuk menganalisis aktivitas otak saat seseorang mengetik, dan memprosesnya dengan jaringan saraf dalam.
Studi yang dilakukan menunjukkan tingkat akurasi cukup tinggi mencapai 80 persen, dalam menentukan huruf yang diketik oleh seorang pengguna terampil.
Meskipun demikian, teknologi ini masih memiliki keterbatasan, seperti ukuran yang besar dan alat yang cukup berat sehingga kurang praktis dan biaya tinggi, sehingga belum dapat digunakan sebagai produk komersial.
Dalam penelitian lanjutan, Meta menemukan bahwa produksi bahasa dalam otak berlangsung secara hierarkis, dimulai dari pemrosesan kalimat hingga huruf individual.
Wawasan ini dapat menjadi dasar dalam pengembangan AI yang lebih canggih, terutama dalam pemrosesan bahasa alami.
Namun, ada banyak pertanyaan penting yang kemudian muncul. Apakah alat ini aman, tak melanggar etika dan hukum. Bagaimana jika data pikiran seseorang disalahgunakan.
Jika AI bisa membaca pikiran seseorang, apakah akan berarti seseorang tidak bisa menyembunyikan apa pun lagi?
Hal yang juga menarik adalah, apakah teknologi ini bisa digunakan dalam penegakan hukum. Misalnya untuk memeriksa terdakwa yang tidak jujur dan selalu berbohong.
Hal yang perlu diingat, pikiran dan keinginan seseorang tidak selalu diwujudkan dalam tindakan. Seseorang bisa saja memikirkan sesuatu tanpa benar-benar ingin melakukan atau mewujudkannya.
Baca juga: Habisnya Hak Cipta Popeye dan Tintin: Inspirasi Revisi UU Hak Cipta
Dalam hukum misalnya, yang menjadi dasar pertanggungjawaban adalah perbuatan nyata, bukan sekadar pikiran atau keinginan yang tidak direalisasikan.
Jika alat ini digunakan tanpa aturan yang jelas, bisa saja seseorang dianggap bersalah hanya karena pikirannya, bukan karena perbuatannya.
Perlu ada pedoman etika dan regulasi yang jelas, terkait penggunaan teknologi ini. Pelindungan terhadap kebebasan berpikir, privasi, serta batasan dalam penegakan hukum harus diatur secara benar.
Ke depan, semua ini harus menjadi bagian dari materi muatan UU AI yang komprehensif, agar inovasi tetap diabdikan untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan tidak disalahgunakan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita 优游国际.com WhatsApp Channel : . Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.