Berturut-turut posisi pertama diisi oleh Makmum 2 (2021), KKN di Desa Penari (2022), Sewu Dino (2023), Agak Laen (2024), dan hingga pertengahan April ini, Pabrik Gula (2025) masih memuncaki daftar film terlaris.
Agak Laen menjadi genre yang ‘agak laen’ karena memadukan komedi dan horor yang membuat genre horor semakin fresh.
Meski sejak ‘era Suzzanna’ film horor selalu dikombinasikan dengan komedi, eksekusi Agak Laen membuat film ini jadi film horor yang menyenangkan, alih-alih menakutkan.
Film drama romansa berusaha cari peruntungan lewat kisah-kisah seksual yang ekstrem, umumnya merupakan bentuk remediasi dari konten media sosial yang diklaim sebagai based on true story.
Film Ipar adalah Maut (2024) dan Norma: Antara Mertua dan Menantu (2025) menunjukkan bahwa keganjilan mentok mulai digarap demi menyajikan pemuas hasrat penonton yang menginginkan inovasi.
Di tengah riuhnya hantu dan drama percintaan, sangat sedikit rumah produksi Indonesia yang menggarap animasi untuk tujuan komersial.
Selain berbiaya mahal dan tidak menjamin 'balik modal', ada semacam pola tak tertulis tentang tiga formula yang berpotensi menyukseskan film ‘lokal’ di Indonesia, yaitu agama, seks, dan hantu.
Dalam film yang sukses, setidaknya satu unsur tersebut dijadikan sebagai tulang punggung cerita.
Duo film Si Juki (2017 & 2024) menjadi film yang cukup mewarnai jadwal penayangan bioskop Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir.
Namun secara jumlah penonton, keduanya masih jauh di bawah genre lain, meski lebih tinggi dari Battle of Surabaya (2015) yang ditonton oleh 70.000-an saja. Film-film tersebut tidak menggunakan ‘formula kesuksesan’ dalam narasinya.
Film Nussa (2021) mencoba menggunakan aspek agama untuk mendongkrak lesunya film animasi di Indonesia. Film ini mengambil karakter dari tayangan populer di kanal YouTube yang memiliki jutaan subscribers.
Sayangnya, film ini kurang mujur dari sisi penjualan. Selain dunia masih dilanda pandemi Covid-19, film Nussa dijadikan komoditas polarisasi politik agama yang membuat film ini tersegmentasi pada ‘penonton loyal’.
Namun Visinema, rumah produksi yang turut menyokong Nussa, tidak menyerah dengan kondisi itu. Pada 12 Februari 2025, mereka mengumumkan akan merilis film animasi baru berjudul Jumbo di 17 negara.
Dalam konferensi pers, Ryan Adriandhy selaku sutradara menyebut film ini digarap selama lima tahun, melibatkan lebih dari 200 kreator Tanah Air.
Saat ini, Jumbo menjadi salah satu film Lebaran terlaris. Hingga pertengahan April, diumumkan film ini mendapatkan lebih dari 3,5 juta penonton di seluruh Indonesia.
Angka tersebut diprediksi terus meningkat di tengah masifnya seruan ajakan menonton oleh ‘buzzer Jumbo’.
Kata ‘buzzer’ yang biasanya berkonotasi negatif, menjadi sesuatu yang heroik demi mempromosikan film animasi berbiaya produksi sekitar Rp 20 miliar tersebut.
"Spectatorship"
Dalam kajian film terdapat istilah fabula dan sjuzet yang merujuk pada penarasian sebuah film. Fabula adalah cerita, sementara sjuzet adalah plot-nya.
Keduanya menjadi bagian dari cinematic apparatus yang membentuk pengalaman kebernontonan (spectatorship), yang cukup berperan dalam menginterpelasi seseorang untuk menonton.
Film Jumbo sekilas merupakan film untuk anak. Namun, film ini merepresentasikan berbagai 'elemen Milenial', seperti permainan kasti yang kini hampir ‘punah’.
Bisa jadi, penonton digital-native tidak tahu permainan kasti yang sangat populer tahun 1990-2000-an awal. Dari sini saja, Jumbo menegaskan bahwa film ini 'perlu' ditonton oleh beragam generasi usia.
Film Jumbo menggunakan salah satu formula sukses berupa hantu. Namun, hantu di sini tidak berlandas agama tertentu sehingga melepaskan Jumbo dari wacana agama yang membuatnya menciptakan semestanya sendiri.
Sepanjang film, tidak ada satu pun simbol agama yang dimunculkan, baik dari dialog, ornamen, dan elemen film lainnya.
Narasi tersebut menjadi perjudian besar karena Jumbo dihadapkan pada persoalan naratif. Penggunaan unsur agama kerap membantu seseorang memahami nalar cerita.
Dengan melungsur agama dari unsur film, atau dekomodifikasi agama, Jumbo tengah menciptakan arena yang netral. Artinya, mereka memiliki pekerjaan untuk membangun keutuhan agar sebuah plot bisa diterima penonton.
Strategi penarasian ini ternyata berhasil menjangkau penonton lintas latar belakang. Meski ada riak-riak ‘pertanyaan’ dari sebagian penonton, tapi kedewasaan menempatkan animasi sebagai fiksi murni (pure fiction) yang tidak perlu dilekatkan dengan kisah-kisah lain, termasuk agama, membuat sebagian besar penonton bisa menikmatinya. Terlebih kualitas gambar yang dihasilkan pun sangat memanjakan mata.
Pada akhirnya, Jumbo bisa menjadi tonggak penting bagi sineas Indonesia untuk memproduksi film yang berkualitas tanpa harus mengikuti pola dan format yang ‘itu-itu saja’.
/tren/read/2025/04/16/054037865/spectatorship-dan-dekomodifikasi-agama-dalam-film-jumbo