ÓÅÓιú¼Ê

Baca berita tanpa iklan.
Tantan Hermansah
Dosen

Pengajar Sosiologi Perkotaan UIN Jakarta

Generasi Tanpa Empati Sosial

ÓÅÓιú¼Ê.com - 24/11/2024, 13:27 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di
Editor

MINGGU ini, panggung kehidupan kita kembali koyak moyak. Kasus mahasiswa ITB yang memilih mengakhiri hidup di Bandung (ÓÅÓιú¼Ê, 21/11), bukan sekadar tragedi pribadi dan keluarganya.

Apa yang terjadi adalah refleksi mendalam tentang kondisi sosial kita hari ini.

Di balik peristiwa ini, tersimpan pesan penting tentang ruang sosial modern yang semakin sarat tekanan dan minim empati.

Tekanan akademis, ekspektasi sosial, dan tuntutan eksistensial menciptakan atmosfer kompetitif yang seringkali membuat individu merasa sendirian, terasing, dan tanpa sandaran.

Perasaan ini, ketika terus dibiarkan, dapat melahirkan keputusasaan yang berujung pada tindakan fatal.

Kasus mahasiswa bunuh diri bukan yang pertama. Jika kita melakukan ‘search’ di laman media online saja dengan kata kunci 'mahasiswa bunuh diri', terdapat puluhan halaman yang membahas peristiwa tersebut.

Ini menunjukkan masalah tersebut begitu serius untuk didalami agar bisa dimitigasi.

Emile Durkheim (1858-1917), dalam karyanya "Le Suicide", menegaskan bahwa bunuh diri bukan hanya persoalan individu, melainkan fenomena sosial.

Ia memperkenalkan konsep bunuh diri egoistik. Konsep ini menjelaskan apa yang terjadi ketika individu merasa terlepas dari jaringan sosialnya.

Keterikatan sosial yang lemah membuat seseorang kehilangan makna dan tujuan hidup. Mereka merasa tidak lagi menjadi bagian dari komunitas, bahkan mungkin merasa bahwa keberadaannya tidak berarti bagi orang lain.

Ketiadaan integrasi inilah yang menciptakan jurang kesepian mendalam, seperti yang mungkin dirasakan oleh mahasiswa tersebut.

Gemerlap kehidupan modern yang memesona juga membawa sejumlah ironi; sebab ketika konektivitas teknologi semakin tinggi, akses ke destinasi wisata dan tempat-tempat relak semakin mudah, tetapi isolasi sosial semakin nyata.

Teknologi memang telah banyak mempertemukan beragam hal, tapi juga telah mempartisi banyak harapan sosial manusia.

Lalu ditemukannya media sosial, yang seharusnya mendekatkan, justru seringkali memperparah perasaan kesepian.

Di dunia maya, kita melihat kehidupan orang lain yang tampak sempurna, sementara realitas pribadi kita terasa jauh dari ideal.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan.
Baca berita tanpa iklan.
Komentar
Baca berita tanpa iklan.
Close Ads
Penghargaan dan sertifikat:
Dapatkan informasi dan insight pilihan redaksi ÓÅÓιú¼Ê.com
Network

Copyright 2008 - 2025 ÓÅÓιú¼Ê. All Rights Reserved.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses ÓÅÓιú¼Ê.com
atau