KOMPAS.com - Mantan presiden Filipina, Rodrigo Duterte mencalonkan dirinya sebagai wali kota Davao di Filipina selatan dalam pemilihan umum (Pemilu) 2025.
Pencalonan Duterte sebagai wali kota Davao telah didaftarkan pada Senin (7/10/2024).
Kota Davao merupakan basis wilayah dari keluarga Duterte. Di kota ini, Duterte pernah menjabat sebagai wali kota selama dua dekade, sebelum memenangkan kursi kepresidenan pada tahun 2016, dikutip dari AP News, Senin.
Adapun, keputusan Duterte untuk mencalonkan diri sebagai wali kota setelah adanya perselisihan dengan keluarga Presiden Filipina Ferdinand Marcos menjelang pemilihan presiden pada 2028.
“Saya ingin melayani Anda,” kata mantan presiden Filipina berusia 79 tahun.
Baca juga: Emman Atienza, Anak Eks Pejabat Filipina yang Disorot Usai Habiskan Rp 36 Juta untuk Sekali Makan
Duterte mencalonkan diri sebagai wali kota Davao dengan menggandeng putranya yang bernama Sebastian Duterte, yang saat ini masih menjabat sebagai wali kota Davao.
Bersama dengan putranya, pasangan Duterte mengatakan bahwa mereka ingin membuat Davao menjadi “lebih baik dari kemarin”, dikutip dari Channel News Asia, Senin.
Keputusan mantan presiden ke-16 Filipina ini dipandang sebagai langkah untuk menggalang dukungan bagi putrinya, Sara Duterte yang saat ini menjabat sebagai wakil presiden Filipina.
Pasalnya, Sara diperkirakan akan mencalonkan diri sebagai presiden pada tahun 2028.
Pemungutan suara Pemilu 12 Mei 2025 sangat penting bagi keluarga Duterte dan Marcos lantaran keduanya berusaha untuk meraih basis dukungan masyarakat Filipina sebelum Pilpres 2028.
“Kita harus ingat bahwa aturan dasar dalam politik adalah melindungi jaminan seseorang dengan cara apa pun,” kata mantan juru bicara Duterte, Harry Roque.
Baca juga: Topan Super Yagi di Vietnam, China, dan Filipina Tewaskan Puluhan Orang
Duterte dikenal secara luas sebagai presiden yang pernah melancarkan perang narkoba mematikan pada 2016.
Kala itu, lebih dari 6.000 orang, yang sebagian besar adalah orang miskin, terbunuh di bawah tindakan keras yang dilakukan oleh polisi terhadap obat-obatan terlarang yang diawasi oleh Duterte.
Namun, kelompok-kelompok hak asasi manusia mengatakan bahwa jumlah korban tewas jauh lebih tinggi. Selain itu, masih banyak pembunuhan yang belum terpecahkan oleh orang-orang bersenjata, yang mungkin dikerahkan oleh polisi.
Duterte membantah adanya pembunuhan di luar hukum terhadap para tersangka narkoba, meskipun ia secara terbuka sempat mengancam para pelaku dengan hukuman mati.