优游国际

Baca berita tanpa iklan.

Kisah "Layangan Putus" dan Perdebatan Pelakor, Bukti Masyarakat Masih Bias Gender

优游国际.com - 04/11/2019, 18:00 WIB
Rosiana Haryanti,
Resa Eka Ayu Sartika

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Banyak kasus perselingkuhan yang muncul akhir-akhir ini memunculkan fenomena baru yakni pelakor atau perebut laki orang.

Fenomena ini terus ada bahkan sering menuai perhatian dari khalayak. Dalam beberapa hari ini, fenomena tersebut kembali mencuat saat kisah seri berjudul Layangan Putus menghiasi lini masa media sosial warganet di Indonesia.

Dalam kisah itu, disebutkan rumah tangga sepasang suami istri yang telah berjalan selama delapan tahun harus kandas karena adanya orang ketiga.

Pembahasan mengenai Layangan Putus tersebut kemudian membuat warganet bertanya-tanya siapa sebenarnya orang di balik cerita itu. Mereka mulai mencari identitas asli hingga akun media sosial para pelakon.

Berbagai macam hujatan diberikan kepada wanita yang dianggap menjadi orang ketiga dalam kisah itu atau disebut pelakor. Bahkan beberapa orang bahkan mengklaim menemukan pelaku asli hingga akun media sosialnya.

Baca juga:

Dengan viralnya kisah tersebut, akun media sosial yang disinyalir menjadi milik dari para pemeran aslinya pun mulai penuh dengan hujatan warganet dan terpaksa harus menutup kolom komentarnya.

Pembahasan ini menjadi trending di media sosial. Bahkan pada pencarian Twitter Indonesia, tagar #LayanganPutus memuncaki daftar terpopuler dengan total 11.600 tweet pada Senin (4/11/2019) siang.

Trending Twitter Indonesia, Senin (4/11/2019). Pada bagian atas tercantum tagar Layangan Putus.Tangkap layar Twitter Trending Twitter Indonesia, Senin (4/11/2019). Pada bagian atas tercantum tagar Layangan Putus.
Adapun sebagian besar dari pembahasan tersebut meliputi kisah, pelaku, dan sebutan pelakor yang buah bibir. Perlakuan yang diterima oleh perempuan yang disebut sebagai pelakor tersebut menimbulkan keresahan.

Pengurus organisasi perlindungan perempuan Rifka Annisa, Harti Muchlas mengatakan, pelabelan kata pelakor kepada satu orang seolah-olah menimpakan kesalahan perselingkuhan pada perempuan semata.

"Padahal belum tahu juga posisi masalahnya seperti apa," ucap Harti menjawab 优游国际.com, Senin (4/11/2019).

Bukan hanya Harti, ahli linguistik Nelly Martin memiliki pandangan serupa. Dalam salah satu artikel yang tayang di laman The Conversation pada 23 Februari 2018, istilah pelakor secara sosiolinguistik berpihak pada laki-laki dan dan meminggirkan perempuan.

Lebih dari itu, istilah pelakor biasanya hanya berdiri sendirian tanpa ada istilah lain yang memasukkan peran laki-laki di dalamnya.

Baca juga: Cerita Layangan Putus, Mungkinkah Pasangan Selingkuh Meski Seks Memuaskan?

Dengan adanya istilah ini, Nelly berpendapat, masyarakat menujukkan bias negatif terhadap perempuan. Adapun dalam kasus perselingkuhan, masyarakat masih menerapkan bias gender.

Senada dengan Nelly, Harti juga mengatakan, munculnya istilah pelakor ini merupakan pesoalan budaya masyarakat yang masih menempatkan perempuan sebagai penjaga moral.

"Dan memberikan privilege pada laki-laki berupa pemakluman kalau terjadi peristiwa seperti itu," ucap dia.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan.
Baca berita tanpa iklan.
Komentar
Baca berita tanpa iklan.
Close Ads
Penghargaan dan sertifikat:
Dapatkan informasi dan insight pilihan redaksi 优游国际.com
Network

Copyright 2008 - 2025 优游国际. All Rights Reserved.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses 优游国际.com
atau