Kemampuan bahasa Belanda, Jepang, dan Inggris, yang didapatkannya semasa di HBS, membuat MT Haryono dipercaya menjadi kepala Kantor Penghubung pada 1 September 1945.
Pada Desember 1948, ia menjadi kepala Biro Penerangan sekaligus juru bicara staf Angkatan Perang Republik Indonesia.
Tidak berhenti di situ, penguasaannya atas beberapa bahasa asing dan kemampuannya dalam berkomunikasi membawanya pada posisi sekretaris Delegasi Militer Indonesia pada Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, yang berlangsung antara 23 Agustus hingga 2 November 1949.
MT Haryono menjadi perwira termuda dalam delegasi KMB, yang bertugas bersama para pemimpin tentara seperti Kolonel TB Simatupang, Kolonel Subijakto (AL), Kolonel Suryadarma (AU), dan Letnan Kolonel Daan Jahja.
Perjuangan MT Haryono bersama rekan-rekannya membuahkan pengakuan kedaulatan Indonesia dari Belanda pada Desember 1949.
Baca juga: Dua Target Penculikan G30S yang Berhasil Lolos
Pada pertengahan tahun 1950, MT Haryono menikah dengan seorang perempuan asal Tegal bernama Muriatni.
Hanya 22 hari setelah pernikahannya, MT Haryono diangkat sebagai atase pertahanan di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag, Belanda.
Melansir esi.kemdikbud.go.id, semasa bertugas di Belanda, MT Haryono pernah menjadi target pembunuhan oleh sekelompok veteran perang Belanda.
Ketika para pelaku percobaan pembunuhan tersebut ditangkap kepolisian setempat, salah satu pelaku bernama Meine Pot mengaku sebagai mantan anak buah Raymond Westerling, perwira Belanda yang bertanggungjawab atas pembantaian di Sulawesi Selatan dan gerakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil).
Sepulangnya ke Indonesia pada 1954, karier MT Haryono terus menanjak.
Pada akhir 1959, Kolonel MT Haryono dipercaya memimpin organisasi intelijen Angkatan Darat.
Pada masa itu, ia bersama Sutoyo Siswomihardjo dan Siswondo Parman, pernah menginvestigasi suatu skandal bisnis tentara yang melibatkan Kolonel Soeharto, yang saat itu menjabat panglima divisi Diponegoro di Jawa Tengah.
Baca juga: Biografi Jenderal Ahmad Yani, Pahlawan Revolusi Korban G30S
Pada 1 Juli 1964, MT Haryono diangkat menjadi Deputi III Menteri/Panglima Angkatan Darat (Menpangad) dengan pangkat mayor jenderal.
Semasa MT Haryono menjabat Menpangad, Indonesia tengah bersitegang dengan Malaysia, sedangkan di dalam negeri, Angkatan Darat sedang bersaing dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Situasi perpolitikan menjelang peristiwa G30S membuat MT Haryono kerap ikut rapat dengan presiden maupun TNI AD, hingga larut malam.