Desiderium naturale vivendi Deum. Hasrat alamiah untuk bertekuk lutut di hadapan Tuhan -Thomas Aquinas (1225 – 1274).
TEOLOG Katolik Henri de Lubac, dalam bukunya “The Mysteri of Supernatural” yang terbit tahun 1965, di masa Konsili Vatikan II, mengutip adagium Thomas Aquinas di atas.
Dengan mengutip adagium itu, ia ingin menyoroti transformasi pewartaan nilai-nilai pluralisme Gereja Katolik pasca-Konsili Vatikan II.
Menurut de Lubac, setiap manusia apa pun agama dan keyakinannya sesungguhnya memiliki hasrat alamiah untuk bertekuk lutut di hadapan Tuhan. Manusia pada dirinya sendiri memiliki kerinduan kodrati terhadap yang adikodrati.
Keselamatan yang dibawa Yesus tidak eksklusif hanya diperuntukkan bagi orang Kristen, tapi bagi semua orang tanpa kecuali, apa pun agama dan keyakinannya.
Konsekuensinya, tidak ada seorang pun manusia yang berhak menghakimi sesamanya tidak selamat atau tidak bisa masuk surga. Tuhan menghendaki seluruh umat manusia selamat, masuk surga.
Lebih tegas lagi, orang tidak harus menjadi Katolik untuk dapat masuk surga. Sebab, di luar Gereja Katolik pun ada kebijaksanaan Ilahi yang mengarahkan orang menuju keselamatan. Itu semua adalah bagian dari karya keselamatan Tuhan bagi semua manusia.
Dalam iman Katolik itu adalah bagian dari karya keselamatan Yesus. Sejak Konsili Vatikan II yang berakhir tahun 1965, Gereja Katolik mengakui bahwa di luar Gereja Katolik ada jalan lain menuju surga.
O, iya, sebelum melanjutkan membaca serial VI ini, Anda bisa membaca serial sebelumya
Ok, mari kita lanjut. Konsili adalah sidang tertinggi Gereja Katolik yang dihadiri seluruh uskup di dunia untuk membahas hal-hal penting dalam gereja.
Keputusan konsili menjadi panduan praktik ajaran iman bagi Gereja Katolik di seluruh dunia. Sepanjang 2000 tahun, hanya ada 21 konsili. Yang terakhir adalah Konsili Vatikan II.
Lubac adalah seorang imam atau pastor dari Ordo Serikat Jesus (Jesuit). Teolog asal Perancis ini, bersama teolog Jerman Karl Rahner yang juga seorang imam Jesuit, kerap dianggap sebagai dua orang yang paling bertanggung jawab terhadap perubahan haluan Gereja Katolik yang semula eksklusif menjadi inklusif.
Keduanya adalah teolog yang amat berpengaruh di abad ke-20. Tulisan dan riset doktrinalnya memainkan peran penting dalam membentuk Konsili Vatikan II.
Sosok sentral yang membuka jendela-jendela dan pintu-pintu Gereja Katolik bagi angin segar pluralisme tentu saja Paus Yohanes XXIII yang menggagas Konsili Vatikan II yang berlangsung dari tahun 1962-1965.
Sikap inklusif gereja terhadap agama-agama lain dituangkan dalam Deklarasi Konsili Vatikan II yang bernama Nostra Aetae (pada zaman kita).
Di dalam deklarasi itu Gereja Katolik antara lain memberi penghargaan kepada setiap agama besar yang ada di dunia ini dan penghargaan atas inisiatif agama-agama tersebut untuk mendalami dan memaknai misteri kehidupan manusia.
Sebelum konsili digelar, pada Agustus 1960, Paus Yohanes XXIII menunjuk Henri de Lubac sebagai konsultan persiapan pembentukan Komisi Teologi untuk Konsili Vatikan II.
Dua tahun berikutnya, pada Oktober 1962, Paus Yohanes XXIII juga mengangkat Karl Rahner sebagai teolog Konsili Vatikan II.
Pandangan inklusif Gereja Katolik ini mengoreksi secara radikal doktrin sebelumnya tentang keselamatan yang berbunyi, “extra ecclesiam nulla salus”, yang artinya di luar gereja tidak ada keselamatan. Lugasnya, orang harus dibaptis dan menjadi Katolik supaya masuk surga.
Doktrin inilah yang menjadi dasar eksklusivisme Gereja Katolik di masa lalu. Doktrin ini juga yang menggerakkan ribuan misionaris Katolik di sepanjang sejarah melanglang buana ke berbagai penjuru dunia untuk “mengatolikkan” sebanyak-banyaknya orang, termasuk misionaris-misionaris yang membawa agama Katolik ke bumi nusantara.
Semangat “mengatolikkan” orang adalah cerita masa lalu. Sekarang semangat itu sudah berubah. Dengan penuh kerendahan hati yang tulus, Gereja Katolik mengakui dirinya sebagai musafir di dunia fana ini yang terus belajar dan berupaya memperbaiki dirinya.
Gereja Katolik mengalami evolusi kesadaran tentang relasi antara kekuasaan politik dan kekuatan moral berdasarkan pengalamannya di masa lalu.
Seperti diceritakan dalam artikel-artikel sebelumnya, Gereja Katolik pernah mengalami zaman-zaman panjang ketika pemimpin-pemimpin agamanya adalah juga pemimpin politik, panglima perang, dan pengurus hal-hal non-rohani.
Gereja Katolik juga punya pengalaman di abad pertengahan yang gelap itu tentang korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang brutal dan merajalela melawan prinsip-prinsip iman.
Hasilnya adalah perpecahan intern dan gelombang antipemimpin agama, sekularisme, dan sebagainya.
Oleh karena itu, sungguh merupakan berkat yang luar biasa ketika Raja Victor Emmanuel II menganeksasi wilayah negara kepausan di zaman risorgimento, kebangkitan Italia.
Meskipun saat itu Paus Pius IX marah besar karena wilayah kekuasaannya dirampok Italia, sesungguhnya Victor Emmanuel II tidak sedang merampas wilayah kepausan. Ia membebaskan Gereja Katolik dari kekuasaan duniawi yang selama 1000 tahun menyanderanya.
Baca juga: Bagian V: Benito Mussolini Pemimpin Fasis Italia dan Lahirnya Negara Vatikan
Penaklukan Negara Kepausan yang kemudian membentuk Negara Kota Vatikan saat ini adalah fajar cerah yang mengusir awan gelap kekuasaan duniawi Gereja Katolik. Konsili Vatikan II adalah matahari baru yang terbit di ufuk timur.
R.F. Bhanu Viktorahadi, Pr, iman diosesan Keuskupan Bandung, dalam bukunya “Mengoreksi Extra Ecclesiam Nulla Salus, Dinamika Gagasan Inklusif Gereja dari Abad III sampai Konsili Vatikan II”, mengurai dengan lugas dan penuh keterusterangan tentang asal-usul doktrin ini dan bagaimana doktrin ini memengaruhi Gereja Katolik selama 17 abad.
Doktrin “extra ecclesiam nulla salus” muncul pertama kali pada abad ke-3 M. Ajaran ini diperkenalkan oleh Origenes (185-253 M) dan Siprianus (200-258 M).
Awalnya, kalimat ini ditujukan kepada mantan jemaat Katolik yang memisahkan diri dari Gereja Katolik Roma. Kalimat itu tidak ditujukan kepada agama-agama lain.
Dalam perkembangannya, kalimat ini menjadi dasar bagi kerja-kerja misi menyebarkan kekristenan.
Agama Katolik yang berkembang di Eropa, kemudian berkelindan dalam kekuasaan politik raja-raja Eropa, ikut membonceng misi-misi penaklukkan wilayah-wilayah baru ke luar Eropa sepanjang abad ke-16-17 (tahun 1500-1600-an M).
Kita mengenal para penakluk dunia seperti Christopher Columbus yang disebut sebagai penemu benua Amerika, Vasco de Gama, Ferdinand Magellhaes, dan Francis Drake.
Jika para penakluk dunia itu bertujuan menguasai tanah-tanah baru, para misionaris membonceng dengan tujuan membaptis penduduk wilayah taklukan.
Dalam sejarah dunia, semangat ekspedisi ini dikenal dengan istilah “3G”: Gold, Glory and Gospel – kekayaan, kejayaan, dan penyebaran Injil.
Itulah yang terjadi ketika para misionaris Katolik Portugis dan Spanyol membonceng para penjelajah Eropa menuju Nusantara pada abad ke-16 yang berdagang rempah-rempah di Maluku.
Salah satu misionaris pertama yang menyebarkan ajaran Katolik di wilayah Nusantara adalah Fransiskus Xaverius dari Ordo serikat Jesus yang datang mengunjungi Ambon, Saparua, dan Ternate di sekitar tahun 1546-1547.
Setelah itu, berbondong-bondonglah misionaris dari Belanda yang membonceng pasukan dagang Belanda VOC ke Indonesia hingga agama Katolik tumbuh di negeri ini. Semua dilakukan dalam terang semangat extra ecclesiam nulla salus.
Karya-karya misi di tanah-tanah baru di luar Eropa membawa kesadaran baru bagi Gereja Katolik. Perjumpaan para misionaris dengan tradisi dan adat penduduk di tanah taklukan dan jajahan memberi perspektif baru tentang kebenaran mutlak nanabsolut.
Mereka mendapat pengalaman bahwa tradisi, adat, dan keyakinan penduduk tanah jajahan juga memiliki konsep tentang Yang Ilahi dalam lokalitas mereka.
Pengalaman-pengalaman di tanah misi, menurut Joseph Mitsuo Kitagawa, sejarawan agama dari University of Chicago Divinity School, dalam bukunya “The Quest of Human Unity”, menjadi salah satu tonggak penting dalam perubahan cara pandang Gereja Katolik terhadap dunia.
Jadi, benih-benih inklusivitas Gereja Katolik sesungguhnya juga dikembangkan oleh para misionaris di tanah misi yang banyak berjumpa dengan kearifan lokal sebelum Konsili Vatikan II.
Secara formal, perdebatan teologis tentang pluralisme baru muncul di antara para teolog Katolik pada tahun 1930-an.
Pada 30 November 1919, Paus Benediktus XV (1914-1922) mengeluarkan "ensiklik Maximum Ilud". Artinya, yang sangat penting.
Isi pokok dari ensiklik ini adalah pernyataan soal betapa pentingnya pembinaan bagi imam-imam pribumi. Paus mengingatkan, imam-imam pribumi adalah orang-orang yang paling memahami dan memiliki perasaan sama dengan masyarakat lokal seperti bahasa, budaya, adat istiadat, dan mentalitas.
Saat ensiklik dikeluarkan, situasi geopolitik dunia di sejumlah tanah misi sedang bergolak oleh bangkitnya nasionalisme lokal yang berkonflik dengan para penjajah Eropa. Hal ini dapat menciptakan ketidapastian bagi para misonaris karena mereka berkebangsaan asing.
Ensiklik ini mengingatkan, pemimpin-pemimpin masa depan gereja lokal adalah para imam-imam lokal. Hanya dengan pemimpin-pemimpin lokal, Gereja Katolik sungguh dapat menyatu dalam kehidupan setempat di tanah misi.
Di Indonesia, harapan "Maximum Ilud" itu tidak sulit diwujudkan. Salah seorang misionaris Belanda yang amat berjasa mengembangkan karya pendidikan di tanah Jawa adalah Romo Frans van Lith, SJ. Ia dipandang berhasil membumikan kekatolikan di tanah Jawa.
Salah satu buahnya adalah Gereja Katolik Indonesia menyatu bersama masyarakat Indonesia dalam masa-masa sulit kemerdekaan.