Dalam sosok Soegija, Gereja Katolik sungguh-sungguh menyatu dalam diri masyarakat Indonesia. Seratus persen Katolik, seratus persen Indonesia.
Gereja Katolik Indonesia menjadi gereja mandiri yang diakui dalam struktur hierarki gereja belum lama.
Meski agama Katolik sudah disebarkan sejak abad ke-16, namun pengakuan sebagai Gereja mandiri baru diberikan oleh Vatikan pada 1961 dengan dekret Quod Christus Adorandus yang dikeluarkan oleh Paus Yohanes XXIII.
Dengan gereja mandiri, status wilayah di sejumlah tempat di Indonesia adalah keuskupan. Sebelumnya adalah vikaris apostolik. Dengan status keuskupan, berarti gereja Indonesia memiliki kewenangan mandiri untuk mengelola wilayahnya.
Pemberian status mandiri pada gereja Katolik Indonesia sebelum digelarnya Konsili Vatikan II pada 1963 sesungguhnya menunjukkan kesungguhan Paus Yohanes XXIII yang mengharapkah keikutsertaan gereja-gereja lokal di luar Eropa di berbagai penjuru dunia untuk hadir dan terlibat dalam diskusi-diskusi di Konsili.
Dengan status gereja mandiri, artinya Gereja Katolik Indonesia resmi memiliki sejumlah keuskupan dan memiliki uskup. Konsili adalah sidang yang dihadiri oleh uskup-uskup sedunia. Artinya, ada perwakilan Indonesia yang hadir dan terlibat di sana.
Dari sejumlah komisi yang dibentuk dalam konsili, ada dua uskup asal Indonesia yang masuk sebagai anggota komisi.
Pertama adalah Mgr Albertus Soegijapranata yang menjadi anggota Commisio de Missionionibus dan Uskup Ruteng Mgr W. van Bekkum yang masuk dalam Commisio de Sacra Liturgia.
Di tengah periode konsili yang panjang, Mgr Albertus Soegijapranata meninggal pada 22 Juli 1963 di Belanda. Ia kemudian digantikan oleh Mgr Justinus Darmajuwana.
Konsili Vatikan II digelar selama tiga tahun, dari 1962-1965. Penggagasnya adalah Paus Yohanes XXIII. Namun, pada 1963, ia wafat. Konsili ditutup oleh penggantinya, Paus Paulus VI pada tahun 1965.
Paus Yohanes XXIII mengundang konsili dengan tujuan memperbarui Gereja Katolik dengan semangat aggiornamento, menyesuaikan diri dengan dunia modern.
Paus Yohanes XXIII pernah mengucapkan kata aggiornamento yang maknanya, "bukalah jendela itu agar udara bisa masuk". Dalam konteks ini, udara bisa diartikan sebagai dunia, dan Gereja bisa diartikan sebagai orang-orang yang berada di dalam rumah.
Paus Yohanes XXIII melihat bahwa Gereja menghadapi tantangan baru di abad ke-20, termasuk perubahan sosial, politik, dan teknologi.
Ia ingin Gereja menjadi lebih relevan dan responsif terhadap kebutuhan umat Katolik dan masyarakat luas, dengan pendekatan yang lebih inklusif dan dialogis.
Ia juga mempromosikan persatuan Kristen: Paus ingin memperbaiki hubungan dengan denominasi Kristen lain, serta mendorong dialog antar-agama.
Dalam artikel-artikel sebelumnya diceritakan, dalam perjalanan sejarahnya yang panjang gereja Katolik mengalami banyak konflik di dalam.
Skisma besar tahun 1054 dan Reformasi Protestan pada 1517 membuat bahtera Gereja terkoyak-koyak. Gereja Katolik ingin memperbaharui hubungan dengan anggota gereja-gereja lain itu.
Namun, yang lebih besar dari itu, Gereja Katolik juga ingin membangun hubungan dan dialog yang penuh pengertian dengan agama-agama lain.
Di sinilah gagasan inklusivitas Gereja Katolik yang sejak awal disampaikan di tulisan ini menemukan tonggaknya.
Wajah baru Gereja Katolik, sungguh-sungguh baru, dalam relasinya dengan sesama umat penganut agama lain di seluruh dunia.
Konsili menghasilkan sejumlah dokumen. Tidak semua dokumen mendiskusikan secara langsung gagasan soal multikulturalisme dan dialog.
Dalam konteks tulisan ini, salah satu dokumen paling penting yang menjadi tonggak baru hubungan Gereja Katolik dengan agama-agama lain adalah Nostra Aetate.
Nostra Aetate adalah deklarasi Konsili Vatikan II yang dikeluarkan pada 28 Oktober 1965. Deklarasi ini membahas hubungan Gereja Katolik dengan agama-agama non-Kristen, dan dianggap sebagai salah satu dokumen paling penting dalam memperbarui sikap Gereja terhadap dunia luar.
Deklarasi ini dimulai dengan mengakui bahwa semua manusia mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan eksistensial tentang asal-usul, tujuan hidup, dan Tuhan.
Gereja Katolik menyatakan bahwa dalam berbagai tradisi agama, terdapat unsur-unsur kebenaran yang dapat memperkaya umat manusia.
Nostra Aetate mengakui bahwa Hindu dan Buddha memiliki cara unik dalam memahami realitas ilahi dan kehidupan manusia.
Gereja menghargai usaha mereka untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan besar tentang keberadaan dan kehidupan melalui meditasi, pengetahuan, dan spiritualitas.
"Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang.
Namun Gereja tiada hentinya mewartakan dan wajib mewartakan Kristus, yakni "jalan, kebenaran dan hidup" (Yoh 14:6); dalam Dia manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan, dalam Dia pula Allah mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya42.
Maka Gereja mendorong para putranya, supaya dengan bijaksana dan penuh kasih, melalui dialog dan kerja sama dengan para penganut agama-agama lain, sambil memberi kesaksian tentang iman serta perihidup kristiani, mengakui, memelihara dan mengembangkan harta kekayaan rohani dan moral serta nilai-nilai sosio-budaya, yang terdapat pada mereka."
Tentang Islam, deklarasi itu menyatakan:
“Gereja juga menghargai umat Islam, yang menyembah Allah satu-satunya, yang hidup dan berdaulat, penuh belas kasihan dan mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, yang telah bersabda kepada umat manusia.
Kaum muslimin berusaha menyerahkan diri dengan segenap hati kepada ketetapan-ketetapan Allah juga yang bersifat rahasia, seperti dahulu Abraham – iman Islam dengan sukarela mengacu kepadanya – telah menyerahkan diri kepada Allah.
Memang mereka tidak mengakui Yesus sebagai Allah, melainkan menghormati-Nya sebagai Nabi. Mereka juga menghormati Maria Bunda-Nya yang tetap perawan, dan pada saat-saat tertentu dengan khidmat berseru kepadanya.
Selain itu mereka mendambakan hari Pengadilan, bila Allah akan mengganjar semua orang yang telah bangkit. Maka mereka juga menjunjung tinggi kehidupan susila, dan berbakti kepada Allah terutama dalam doa, dengan memberi sedekah dan berpuasa.
Memang benar, di sepanjang zaman cukup sering telah timbul pertikaian dan permusuhan antara umat Kristiani dan kaum Muslimin.
Konsili suci mendorong mereka semua, supaya melupakan yang sudah-sudah, dan dengan tulus hati melatih diri untuk saling memahami, dan supaya bersama-sama membela serta mengembangkan keadilan sosial bagi semua orang, nilai-nilai moral maupun perdamaian dan kebebasan.”
Baca juga:
Dokumen ini juga memulihkan hubungan dengan Yudaisme yang amat buruk di masa lalu. Gereja Katolik mengakui hubungan teologis yang mendalam antara Kekristenan dan Yudaisme, karena umat Kristen dan Yahudi berbagi warisan keimanan dalam Tuhan yang sama.
Menyatakan bahwa orang Yahudi tidak boleh dipersalahkan secara kolektif atas kematian Yesus, menghapuskan tuduhan antisemitisme yang telah berlangsung selama berabad-abad.
Menyampaikan penyesalan Gereja atas segala bentuk kebencian, penganiayaan, dan antisemitisme terhadap orang Yahudi, terutama yang terjadi selama Holocaust.
Bagian terakhir Nostra Aetate menekankan bahwa Gereja Katolik menolak segala bentuk diskriminasi dan kebencian berdasarkan ras, warna kulit, kondisi hidup, atau agama.
Ini termasuk seruan untuk menghormati martabat setiap manusia tanpa memandang agama, dan untuk hidup dalam harmoni serta kedamaian dengan semua orang.
Nostra Aetate membawa dampak signifikan bagi hubungan antara Gereja Katolik dengan agama-agama lain, termasuk memperbaiki hubungan Katolik-Yahudi.
Deklarasi ini memulai dialog baru antara umat Katolik dan Yahudi, dan mengutuk antisemitisme. Hal ini berdampak besar dalam membangun kembali hubungan yang selama berabad-abad tegang.
Gereja Katolik juga membuka dialog dengan agama-agama besar dunia, termasuk Islam, Hindu, dan Buddha, serta mempromosikan kerja sama dalam berbagai bidang seperti perdamaian, keadilan sosial, dan kemanusiaan.
Nostra Aetate juga memperkuat sikap Gereja Katolik terhadap toleransi beragama, yang kemudian diintegrasikan dalam dokumen lain seperti Dignitatis Humanae, yang berbicara tentang kebebasan beragama.
Nostra Aetate dianggap sebagai langkah revolusioner dalam sejarah Gereja karena mengubah cara pandang Katolik terhadap agama lain, dari sikap yang cenderung menganggap agama-agama lain sebagai sesat, menjadi sikap inklusif yang mengakui nilai dan kebenaran dalam keyakinan lain.
Dokumen ini mendorong persaudaraan universal, perdamaian, dan dialog, sejalan dengan visi Paus Yohanes XXIII dan Paus Paulus VI untuk Gereja yang lebih terbuka dan bersahabat dengan dunia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita 优游国际.com WhatsApp Channel : . Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.