KOMPAS.com - Terkait masuknya agama Hindu-Buddha ke Nusantara, sebagian ahli menganggap bahwa bangsa Indonesia bersikap pasif dan hanya menerima pengaruh yang datang dari India.
Sedangkan sebagian sejarawan lainnya berpendapat bahwa penyebaran agama Hindu dan Buddha melibatkan peran aktif bangsa Indonesia sendiri.
Peran aktif ini dapat dilihat dari pendekatan kepada masyarakat lokal dengan melibatkan mereka secara langsung dalam proses pengenalan agama Hindu dan Buddha.
Pendapat tersebut didukung oleh Teori Arus Bali yang dikemukakan oleh FDK Bosch, JC van Leur, dan George Coedes, yang menyatakan bahwa bangsa Indonesia terlibat secara langsung dalam menyebarkan agama Hindu dan Buddha.
Berikut peran aktif bangsa Indonesia dalam proses masuknya agama Hindu dan Buddha.
Baca juga: Sejarah Lahirnya Agama Hindu
Teori Arus Balik menekankan pada peranan bangsa Indonesia dalam proses penyebaran kebudayaan Hindu-Buddha di Nusantara.
Dalam teori ini dijelaskan bahwa masyarakat Indonesia tidak hanya menerima pengetahuan agama Hindu dari orang-orang yang datang.
Akan tetapi, mereka juga aktif mengejar pengetahuan di tanah asal agama Hindu, yakni ke India.
Pendukung Teori Arus Balik meyakini bahwa sangat mungkin orang-orang Indonesia belajar agama Hindu-Buddha secara langsung ke India.
Sekembalinya ke tanah air, mereka akan menyebarkan apa yang dipelajarinya kepada masyarakat sekitar.
Baca juga: Penyebaran Agama Hindu di Indonesia Menurut Teori Arus Balik
Salah satu bukti yang menunjukkan peran aktif bangsa Indonesia dalam proses masuknya pengaruh agama Hindu-Buddha di Indonesia, ialah Prasasti Nalanda.
Mengingat Hindu tidak lahir di Indonesia, hanya orang-orang tertentu seperti Brahmana dari India yang mempelajarinya dan menyebarkannya.
Menurut Teori Arus Balik, para cendekiawan lokal banyak yang diutus ke India agar belajar secara langsung agama Hindu dan Buddha.
Hal itu dimaksudkan agar ilmu yang mereka dapatkan bisa digunakan sebagai bekal mendirikan kekuasaan di Indonesia.
Prasasti Nalanda yang ditemukan di Bihar, India, pada 1921, menjelaskan tentang Raja Devapaladeva dari Kerajaan Palla di India, yang mengabulkan permintaan Sri Maharaja dari Swarnadvipa atau Sriwijaya untuk membangun sebuah biara Buddha di Nalanda.