Sebelum mengulas lanjutan kisah tentang kepausan dan Vatikan setelah pengakuan kekaisaran Romawi atas kekristenan pada 313 M, ada baiknya kita mengenal lebih dulu asal usul istilah Kristen, Protestan, dan Katolik.
Jadi, tulisan ini masih berkisah di masa-masa kekristenan mula-mula sebelum tahun 313 M.
Di Indonesia, istilah yang umum dikenal adalah Kristen, Protestan, dan Katolik. Ketiganya merupakah istilah yang merujuk pada agama yang bertiang iman pada Yesus.
Mungkin Anda pernah berjumpa dengan seseorang dan dia mengklarifikasi, “Maaf, saya Kristen, bukan Katolik." Atau sebaliknya, “Maaf, saya Katolik, bukan Protestan.” Apa bedanya sih?
Lazimnya di Indonesia, kata Kristen diidentikkan dengan agama Protestan. Saya beragama Kristen dimengerti sebagai saya beragama Protestan. Sementara, istilah Katolik seolah entitas sendiri yang berbeda dengan Kristen.
Menilik sejarahnya, baik Katolik dan Protestan, keduanya berada dalam rumah induk yang satu, yaitu Kristen, artinya pengikut Kristus atau Yesus.
Mereka yang disebut Kristen
Istilah Kristen berakar pada kata Kristus. Kata “Kristus” berasal bahasa Yunani, “Christos”. Artinya, "Dia yang diurapi” atau “Dia yang dipilih Tuhan".
Dalam bahasa Ibrani istilahnya adalah “Mesias". Artinya sama. Yesus sendiri diduga bicara bahasa Aram dalam pengajaran-pengajarannya.
Kata Kristus muncul dari mulut Simon Petrus, murid Yesus yang ditunjuk Yesus sebagai pemimpin jemaat, yang oleh Gereja Katolik diakui sebagai paus pertama.
Dalam Injil Matius 16:16, Petrus menyatakan, “Engkau adalah Mesias (Kristus), Anak Allah yang hidup."
Ini adalah pengakuan penting dalam Perjanjian Baru yang menunjukkan pemahaman para murid tentang identitas Yesus sebagai Mesias atau Kristus yang dinantikan yang menjadi dasar iman para pengikut Yesus hingga kini.
Istilah Mesias yang dalam bahasa Yunani menjadi Kristus inilah menjadi cikal bakal sebutan Kristen yang disematkan kepada para pengikut Yesus.
Kapan istilah Kristen muncul dan bagaimana ceritanya?
Dalam artikel sebelumnya dikisahkan tentang para murid Yesus yang menyebar ke berbagai tempat untuk menyebarkan ajaran Yesus. Di masa itu, pusat peradaban dunia adalah wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Imperium Romawi seperti dapat dilihat pada peta di bawah ini.
Di masa Kekaisaran Romawi, Antiokhia merupakan kota terbesar ketiga setelah Roma dan Alexandria. Di masa modern saat ini, Antiokhia merupakan salah satu kota negara Turkiye, Alexandria di Mesir, dan Roma di Italia.
Di masa-masa awal, terbentuklah empat komunitas besar pengikut Yesus, yaitu di Yerusalem, Antiokhia, Alexandria, dan Roma.
Kota Yerusalem di masa itu merupakan ibu kota Provinsi Yudea yang berada dalam cengkeraman Kekaisaran Romawi sejak tahun 63 M.
Pada tahun 70 M, Romawi menghancurkan Yerusalem menyusul pemberontakan masyarakat Yahudi yang ingin meraih kemerdekaan dari Kerajaan Romawi.
Romawi menghancurkan Bait Suci Yahudi di Yerusalem dan menyisakan tembok sebelah barat yang sampai saat ini masih berdiri dan dikenal sebagai tembok ratapan, yang sekarang menjadi situs ziarah orang-orang Yahudi di seluruh dunia.
Setelah penghancuran Yerusalem, banyak orang Yahudi dibunuh, dijadikan budak, atau dipaksa mengungsi. Mereka kemudian pergi dari Yerusalem dan tersebar ke berbagai wilayah di sekitar Laut Tengah, dikenal sebagai diaspora Yahudi.
Perlu digarisbawahi, agama Yahudi dan pengikut Yesus adalah dua kelompok masyarakat berbeda yang memiliki keyakinannya masing-masing. Meski Yesus adalah orang Yahudi, namun ajaran-ajaran Yesus tidak diakui sebagai bagian dari kepercayaan Yahudi.
Di masa itu, sebagian masyarakat Yahudi adalah pengikut Yesus dan sebagian lagi tetap berpegang pada keyakinan tradisional mereka, yaitu agama Yahudi. Hancurnya Yerusalem otomatis juga menghancurkan komunitas pengikut Yesus di sana.
So, sampai abad ke-4 M (tahun 300-an M), artinya selama 300 tahun setelah Yesus meninggal, ada tiga kota yang menjadi pusat komunitas pengikut Yesus, yaitu Antiokhia, Alexandria, dan Roma.
Istilah Kristen muncul pertama kali di Antiokhia sekitar tahun 40-44 M. Ini tercatat pada Alkitab dalam Kisah Para Rasul 11:26, “Di Antiokhia lah murid-murid itu untuk pertama kalinya disebut Kristen.” Dalam bahasa Yunani mereka disebut Kristianos, pengikut Kristus.
Kenapa yang digunakan adalah Kristen, dari bahasa Yunani, bukan Mesias dalam bahasa Ibrani?
Sebab, masyarakat Antiokhia saat itu menggunakan bahasa Yunani. Sebelum era Romawi, kebudayaan ulung dominan yang memengaruhi peradaban adalah Yunani.
Kebudayaan Romawi dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani. Bahasa yang banyak digunakan oleh masyarakat yang tinggal di wilayah timur kekaisaran Romawi adalah bahasa Yunani.
Mengutip situs Kementerian Pariwisata dan Turisme Turki, bahasa Yunani masih dituturkan di sejumlah daerah di negeri itu.
Bahasa Ibrani dan Aram hanya dituturkan di wilayah Yudea (sekitar wilayah Israel-Palestina saat ini).
Kata Kristen menunjuk pada semua orang yang menjadi pengikut Yesus. Saat itu, Gereja belum terpecah-pecah seperti sekarang. Semuanya satu dalam "rumah induk”: Kristen.
Sebelum istilah Kristen populer, mereka kerap disebut atau menyebut dirinya sebagai “pengikut jalan Tuhan” atau “orang-orang percaya”.
Istilah yang merendahkan
Sebutan Kristen awalnya merupakan ejekan bernada merendahkan kepada kelompok “masyarakat baru” minoritas yang dipandang aneh karena gaya hidupnya berbeda dengan masyarakat kebanyakan.
Perlu dicatat, di masa-masa ini umat Kristen masih hidup dalam kesulitan. Mereka direndahkan, dihina, diburu, ditangkap, disiksa, dan dibunuh.
Setelah kematian Yesus, semua pengikut-pengikut Yesus di wilayah Imperium Romawi diburu dan dimusuhi.
Itu berlangsung selama 300 tahun sebelum Kaisar Konstantinus I mengeluarkan Dekret Milano pada 313 M yang mengakui eksistensi kekristenan di wilayah Romawi.
Ajaibnya, masa 300 tahun yang penuh tekanan dan penderitaan, bahkan taruhan nyawa itu, tidak membuat ajaran Yesus punah.
Pengikutnya malah terus bertambah dan Kekristenan terus menyebar di segala penjuru wilayah Romawi, yang membentang dari wilayah Timur Tengah, Asia kecil, Afrika Utara, sampai Eropa.
Umat Kristen mengimani, ini semua merupakan bukti karya penyertaan Allah kepada umat-Nya.
Istilah yang semula merupakan ejekan ini kemudian diadopsi oleh para pengikut Yesus sebagai identitas yang membanggakan yang bertahan hingga sekarang.
Katolik
Istilah Katolik muncul setelah istilah Kristen. Jika istilah Kristen tercetus di sekitar tahun 40 M, istilah Katolik muncul di sekitar tahun 100 M. Kedua istilah itu muncul di tempat yang sama: Antiokhia.
Sebelum mengulas soal istilah Katolik, perlu rasanya untuk melihat lebih dulu konteks zaman dan latar belakangnya.
Perlu dipahami, Yesus itu wafat tidak meninggalkan kekuasaan wilayah. Ia memang bukan seorang penguasa wilayah. Ia juga tidak meninggalkan warisan ajaran tertulis.
Yang ia tinggalkan adalah ajaran lisan dan pengalaman ke-12 muridnya yang mengikuti Dia ke mana pun Dia pergi selama tiga tahun.
Ini juga "keajaiban" yang lain: karya Yesus historis yang hanya 3 tahun tampil di publik, tanpa warisan kekuasaan politik dan wilayah, hanya meninggalkan ajaran lisan dan pengalaman hidup pada 12 orang muridnya, memiliki dampak yang luar biasa bagi dunia bahkan bertahan hingga saat ini.
Bolehlah juga dikatakan, selain ajaran lisan itu, Yesus juga mewariskan "kehinaan". Kematian di atas kayu salib adalah sebentuk kematian paling rendah atau paling hina pada zaman itu. Hukuman bagi seseorang yang dianggap penjahat. Ia meninggal dalam posisi serendah-rendahnya manusia.
Namun, dalam “kehinaan” itu, dalam posisi serendah-rendahnya manusia itu, ia mewariskan teladan agung di akhir hidupnya: pengampunan. Ia mengampuni semua orang yang membawanya pada penderitaan salib. Di atas kayu salib, sebelum meninggal, ia berucap, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (Lukas 23:34).
Maka, pengajaran 12 murid pertama Yesus yang disampaikan secara lisan kepada banyak orang dan diteruskan dari mulut ke mulut juga pengalaman hidup 12 murid bersama sosok Yesus ini merupakan tonggak awal sekaligus tonggak utama pemahaman tentang Yesus.
Tentu saja, apa yang dipahami orang dari generasi ke generasi melalui ajaran lisan pasti mengalami bias sehingga pemahamannya bisa berbeda. Jangankan warisan ajaran lisan, warisan kitab tertulis saja menimbulkan ragam penafsiran berbeda.
Secara sederhana dan pendek cerita, bolehlah dibilang, di masa awal kekristenan setidaknya selama 100 tahunan pertama, sepeninggal para rasul (murid-murid pertama Yesus), ada beragam ajaran, pemahaman, dan tafsir tentang Yesus.
Tidak semua ajaran dan paham itu sesuai dengan ajaran para rasul. Dalam sejarah kekristenan, ajaran-ajaran yang tidak sesuai ini kerap disebut sebagai bidaah atau heresi.
Beberapa ajaran yang dianggap tidak sesuai itu antara lain gnotisisme, doketisme, marcionisme, ebionisme, montanisme, arianisme, dan banyak lagi. Ajaran-ajaran itu semuanya bertumpu pada sosok Yesus.
Ajaran-ajaran ini membuat Gereja terpecah-pecah, tidak lagi berada dalam satu garis pemahaman yang sama tentang Yesus.
Dalam konteks zaman seperti inilah istilah Katolik muncul. Dicetuskan pertama kali oleh Uskup Antiokhia Ignatius, atau sering disebut Ignatius dari Antiokhia.
Ia menyebut istilah Katolik dalam suratnya kepada umat Kristen di Smyrna, kota di tepi pantai Laut Aegea, pada tahun 107 M. Ia menulis surat dalam perjalan ke Roma, tempat ia dieksekusi sebagai martir (meninggal karena imannya).
Lokasi Smyrna sekarang di daerah kota modern Izmir, Turkiye. Antiokhia dan Smyrna saat ini merupakan wilayah negara Turkiye. Menurut peta google, jarak Antiokhia ke Smyrna adalah 430-475 km, sekitar lima jam perjalanan dengan mobil.
Dalam suratnya ia menulis, “Di mana ada Yesus Kristus, di situ ada Gereja Katolik."
Istilah Katolik berasal dari bahasa Yunani “katholikos", yang artinya “universal” atau “umum”. Ignatius menyebut “Katolik” yang artinya “Gereja Universal”, Gereja di seluruh dunia yang ajarannya sama berasal dari persekutuan uskup-uskup di bawah naungan Uskup Roma.
Istilah ini ingin membedakan antara Gereja yang pengajaran imannya berada dalam bimbingan seorang uskup dengan gereja-gereja yang disebut sesat di atas.
Dalam tradisi hierarki Gereja, uskup adalah jabatan pemimpin jemaat pada suatu wilayah. Jabatan pemimpin jemaat dulu dipegang oleh para rasul. Sepeninggal para rasul, dipilih salah seorang dari antara jemaat untuk menggantikan peran sebagai pemimpin mereka.
Kata “uskup” pun berakar dari bahasa Yunani “episkopos” yang artinya “penilik", “pengawas”, atau “penjaga". Para uskup dianggap mewarisi pengetahuan yang benar tentang Yesus seperti yang diajarkan oleh para rasul.
“Ikutilah ajaran para uskup saja, uskup-uskup yang bersatu dalam persekutuan dengan Uskup Roma, bukan yang lain. Inilah Gereja Katolik, Gereja kita. Ajaran-ajaran lain itu sesat, bukan ajaran Gereja kita,” begitu kira-kira pesan Ignatius.
Di masa itu, sebenarnya secara hierarkis posisi semua uskup di semua wilayah kekristenan sejajar dengan Uskup Roma. Artinya, Uskup Roma tidak lebih tinggi dibanding uskup-uskup lain.
Namun, Roma memiliki wibawa khusus (menang awu kata orang Jawa) karena ia adalah pusat kerajaan Romawi dan di sanalah Petrus pemimpin tertinggi para murid pernah bertakhta. Oleh karena itu, Roma dijadikan rujukan sebagai pusat persekutuan para uskup.
Di titik sejarah ini, sekitar tahun 100-an M, Gereja Katolik dalam persekutuan dengan Uskup Roma masih satu meliputi seluruh Gereja di wilayah Kekaisaran Romawi: Antiokhia, Alexandria, dan Roma. (Yerusalem sudah hancur, Konstantinopel belum muncul. Konstantinopel sebagai wilayah baru kekristenan baru muncul di abad ke 4 M atau tahun 300-an M setelah Konstantinus I memindahkan ibu kota Romawi dari Roma ke Konstantinopel).
Situasi Gereja masih penuh dengan tekanan fisik: penangkapan, penganiayaan, dan pembunuhan. Secara ajaran iman, Gereja pun masih berkutat membangun fondasi ajaran teologisnya.
Gereja Katolik yang satu dan universal ini kemudian pecah sekitar 1000 tahun kemudian, tepatnya tahun 1054 M, menjadi Gereja Timur dan Gereja Barat.
Salah satu penyebabnya adalah soal perdebatan apakah Uskup Roma harus menjadi uskup paling tinggi di antara uskup-uskup lain.
Sebelum kita membahas soal perpecahan di tahun 1054 M, mari kita melompat sejenak ke abad 16, tahun 1500-an untuk memahami istilah protestan yang menjadi topik tulisan ini.
Protestan
Pengakuan Kerajaan Romawi atas kekristenan pada 313 M dengan dikeluarkannya Dekret Milan oleh Kaisar Konstantinus I membawa “bekat” sekaligus “kutukan” bagi Gereja.
Menjadi “berkat” karena umat Kristen tidak lagi dikejar-kejar, dianiaya, dan dibunuh. Kekristenan berkembang pesat karena menjadi agama kekaisaran.
Pada saat bersamaan, itu juga menjadi semacam “kutukan” karena agama dan kekuasaan negara berkelindan sedemikian rupa sehingga takhta spiritual Gereja Katolik yang diduduki Paus berselingkuh dengan praktik politik kekuasaan negara yang korup.
Pada abad ke-16 atau dikenal juga dengan sebutan abad pertengahan terjadi banyak penyimpangan moral dalam hierarki Gereja Katolik. Dua praktik korup yang menimbulkan gejolak adalah simoni dan penjualan indulgensi.
Simoni adalah praktik jual beli jabatan atau kekuasaan dalam Gereja. Jabatan uskup, pastor, atau layanan rohani diperjualbelikan seperti barang dagangan. Kira-kira miriplah dengan praktik jual beli jabatan dalam praktik birokrasi di Indonesia.
Celakanya, karena praktik simoni, jabatan gerejawi, termasuk jabatan seorang paus, sering kali jatuh ke tangan individu-individu yang tidak memiliki kualitas rohani atau malah tidak bermoral.
Mereka mendapatkan kekuasaan itu bukan karena kesalehan atau kemampuan pastoral mereka, tapi karena memiliki uang. Pernah ada masanya posisi paus diduduki oleh kalangan keluarga-keluarga kaya kerajaan di Eropa.
Sementara indulgensi adalah doktrin dalam Gereja Katolik soal penghapusan dosa. Sejatinya, ajaran itu menegaskan bahwa dosa dapat diampuni melalui sakramen pengakuan dosa dan praktik kesalehan rohani. Pada praktiknya, pernyataan pengampunan dosa gerejawi dapat dibeli dengan uang.
Praktik korup ini tidak muncul tiba-tiba. Ia tumbuh perlahan karena bersatunya kekuasaan negara dan agama dalam satu tampuk pemerintahan Paus yang menjadi kepala negara Vatikan selama 1000-an tahun.
Dulu, Vatikan adalah kerajaan berdaulat yang memiliki kekuasaan wilayah yang luas, tidak seperti sekarang dan Paus memiliki otoritas politik layaknya raja-raja Eropa lain selain otoritas spiritual.
Ini adalah wajah Gereja Katolik dan Vatikan di abad pertengahan. Situasinya sudah berubah 180 derajat dengan sekarang.
Gereja Katolik dan Vatikan di zaman modern saat ini adalah Gereja Katolik yang saleh, sangat spiritual, dan Vatikan adalah negara penjaga moral dunia. Ia telah melepaskan diri dari urusan duniawinya.
Bagaimana ceritanya Gereja Katolik melepaskan diri dari kekuasaan politik duniawi? Nanti kita kita akan sampai ke sana.
Sepanjang abad pertengahan itu, banyak umat dan kelompok-kelompok religius di dalam gereja yang mengkritik keras otoritas Gereja Katolik.
Puncaknya adalah apa yang dilakukan Martin Luther, seorang biarawan dan teolog Jerman, pada 1517. Dengan sangat berani Martin menempelkan 95 tesis di pintu Gereja Kastil di Wittenberg, Jerman.
Ia mengecam penjualan indulgensi dan menyerukan kembalinya Gereja kepada ajaran Alkitab. Inti dari 95 tesisnya itu: keselamatan tidak didapat dari membeli indulgensi, tapi hanya melalui iman kepada Yesus (sola fide), keselamatan adalah semata-mata rahmat dari Tuhan (sola gratia), dan sumber utama ajaran Kristen adalah Alkitab (sola scriptura).
Martin Luther adalah seorang pastor/ imam/ romo/ dari ordo Santo Agustinus (Ordo Eremitani Santo Agostino, OESA). Ordo ini didirikan pada tahun 1244 berdasarkan ajaran dan aturan Santo Agustinus dari Hippo.
Ordo ini masih ada hingga saat ini, tapi tidak dikenal di Indonesia karena mereka tidak membuka karya di Indonesia.
Martin Luther juga adalah seorang profesor teologi di Universitas Wittenberg. Di kampus ia mengembangkan pandangan-pandangan yang kritis terhadap praktik dan doktrin Gereja Katolik sebelum akhirnya ia menempelkan 95 tesisnya itu.
Dalam Gereja Katolik, istilah "ordo religius" merujuk pada komunitas religius yang terdiri dari pria dan wanita yang mengikuti kehidupan religius dengan tujuan khusus untuk hidup sesuai dengan aturan tertentu dan mengabdikan diri kepada pelayanan spiritual dan amal. Mereka biasanya dikenal sebagai pastor atau suster.
Sebenarnya selain Martin Luther, ada juga sejumlah ordo religius yang melakukan protes keras dan menyerukan perubahan. Namun mereka tidak keluar dari Gereja Katolik. Mereka berusaha keras setengah mati melakukan pembaharuan dari dalam gereja.
Mereka adalah para pertapa dan pastor-pastor yang saleh. Beberapa Ordo pembaharu yang dikenal di Indonesia antara lain Serikat Jesus (SJ), Ordo Santo Fransiskus (OFM), Ordo Karmel (Karmelit), dan Ordo Santo Dominikus (OP).
Ordo Serikat Jesus mengembangkan karya di bidang pendidikan. Mereka disebut sebagai Jesuit. Di Indonesia Jesuit mengelola sekolah Kolese Kanisius Jakarta, Kolese Gonzaga Jakarta, Kolese Loyola Semarang, Kolese de Brito Yogyakarta, Politeknik ATMI Solo dan Cikarang, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, dan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta.
Tokoh Jesuit yang terkenal di Indonesia adalah Romo Franz Magnis Suseno. Ada seorang Jesuit Indonesia yang diangkat menjadi pahlawan nasional, Albertus Seogijapranata. Ia adalah seorang uskup katolik yang berperan dalam proses kemerdekaan Indonesia. Paus Fransiskus adalah juga seorang Jesuit.
Ordo Fransiskan di Indonesia terkenal dengan karya kemanusiaannya dalam bentuk Panti Asuhan Vincentius di Kramat Raya, Jakarta.
Ordo Santo Dominikus terhitung baru berkarya di Indonesia. Mereka mengelola Universitas Katolik Darma Cendika (UKDC) di Surabaya. Rektor UKDC Romo Adrian Adiredjo, OP adalah seorang pastor dari Ordo Santo Dominikus.
Perubahan wajah Gereja Katolik Roma menjadi seperti sekarang antara lain karena peran kelompok-kelompok religius itu yang melakukan perubahan dari dalam.
Kembali ke Martin Luther. Apa yang dilakukan Martin Luther semacam “pemberontakan terbuka” terhadap otoritas Gereja Katolik Roma dan memicu gerakan sangat luas di Eropa yang dikenal sebagai reformasi protestan.
Muncullah kemudian berbagai kelompok Kristen yang menyatakan memisahkan diri dari Gereja Katolik Roma.
Karena gerakan ini adalah gerakan protes terhadap Gereja Katolik Roma, kelompok-kelompok baru ini disebut kaum protestan. Kelompok-kelompok ini kemudian mengembangkan ajaran Kristen versi mereka di luar ajaran Gereja Katolik dan membentuk Gereja-gereja baru.
Reformasi Protestan menghasilkan beragam aliran gereja berbeda, masing-masing dengan fokus teologis dan praktik yang unik.
Tokoh-tokoh seperti Martin Luther, John Calvin, dan John Wesley memainkan peran penting dalam mengembangkan dan menyebarkan ajaran-ajaran yang membentuk dasar bagi komunitas Protestan di seluruh dunia.
Aliran-aliran ini terus berkembang dan beradaptasi dengan konteks budaya dan sejarah berbeda, membentuk kekayaan dan keragaman dalam tradisi Kristen Protestan.
Di Indonesia pun banyak aliran Gereja Protestan dengan ciri khasnya masing-masing. Mereka bersatu dalam organisasi PGI, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, yang didirikan pada 25 Mei 1950.
So, istilah Kristen, Katolik, dan Protestan adalah serupa tapi tak sama. Istilah Kristen sebenarnya tidak merujuk pada agama Protestan, tapi istilah yang berlaku umum yang mencakup semua orang yang beriman pada Yesus apa pun agamanya.
Katolik merujuk pada agama yang bernaung di bawah otoritas takhta suci Vatikan. Sementara, Protestan adalah salah satu Gereja dalam kekristenan yang memisahkan diri dari Gereja Katolik.
Tulisan ini belum selesai. Berikutnya kita akan melihat periode perjalanan Gereja yang tadi kita lompati, yaitu periode ketika Kekristenan diterima Kekaisaran Romawi. Di periode ini Gereja Katolik yang satu yang dinyatakan oleh Ignatius dari Antiokhia terpecah-pecah.
Paus tidak satu, ada dua. Satu di Roma-Italia, satu lagi di Kairo-Mesir
/stori/read/2024/07/21/080417979/bagian-ii-kristen-katolik-protestan-dan-asal-usul-kisahnya