Deretan pahlawan wanita ini tak hanya berperang namun juga memajukan pendidikan, kesetaraan, dan keberanian dalam bersuara,
Mulai dari RA Kartini hingga Dewi Sartika, inilah daftar 10 pahlawan wanita Indonesia yang perlu kita ketahui:
Raden Ajeng Kartini
Pahlawan emansipasi wanita ini lahir pada 21 April 1879 di Mayong, Jepara, Jawa Tengah. Ayahnya adalah RM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, seorang bangsawan yang tak lama setelah Kartini lahir diangkat menjadi Bupati Jepara.
Melansir Buku Jejak Hidup Raden Ajeng Kartini (2023) karya Rudiyant, Kartini yang lahir dari keluarga bangsawan memiliki kesempatan untuk bersekolah di Europese Lagree School (ELS) atau setara sekolah dasar.
Sayangnya, Kartini tidak sempat melanjutkan sekolah lebih tinggi seperti kakak laki-lakinya, karena pada usia 12 tahun, ia dipingit sesuai tradisi Jawa dan belajar mandiri melalui buku maupun surat kabar dari teman-teman Belanda.
Kartini juga kerap mengirimkan surat-surat kepada sahabat-sahabatnya tersebut untuk menceritakan keluh kesah dan cita-citanya tentang pendidikan, kesetaraan, dan pemenuhan hak untuk perempuan.
Kartini meninggal dunia pada 1904 tepat empat hari setelah melahirkan putranya. Sepeninggal Kartini, kumpulan surat-surat kartini dibukukan oleh JH Abendanon dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang.
Kini, sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 108 Tahun 1964, tanggal 21 April ditetapkan sebagai Hari Kartini untuk mengingat jasa-jasanya sebagai pahlawan yang memperjuangkan hak-hak perempuan.
Dewi Sartika
Lahir pada 4 Desember 1884, Dewi Sartika adalah pahlawan perempuan asal Cicalengka, Bandung, Jawa Barat.
Mengutip Buku 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia (2005) karya Floriberta Aning S, Dewi Sartika merupakan putri pasangan Patih Bandung bernama R. Rangga Somanegara dan R.A Rajapermas.
Sejak kecil, ia sudah gemar mengajarkan membaca dan menulis kepada teman sebayanya dengan bermain sekolah-sekolahan. Mimpinya adalah mendirikan Sekolah Istri.
Meski sempat ditentang, pada 16 Januari 1904 ia mewujudkan sekolah impiannya di Pendopo Kabupaten Bandung dan sempat pindah di Jalan Ciguriang lalu berubah nama menjadi Sekolah Kaoetamaan Istri yang memiliki cabang di Tasikmalaya, Sumedang, Cianjur, Ciamis, Kuningan, dan Sukabumi.
Dewi Sartika meninggal di Cineam pada 11 September 1947 ketika mengungsi akibat pecah perang.
Martha Christina Tiahahu
Martha Christina Tiahahu, adalah putri sulung dari Kapitan Paulus Tiahahu yang lahir pada 4 Januari 1800. Ayahnya adalah salah satu pemimpin tentara rakyat Maluku.
Christina mewarisi keahlian perang menggunakan tombak dan kerap mendampingi ayahnya memimpin pasukan di Pulau Nasalaut serta Saparua.
Kepemimpinan Christina membakar semangat perempuan lain untuk turut angkat senjata dan perperang melawan Belanda.
Sayang, Laskar Rakyat Maluku kalah jumlah persenjataan dibanding Belanda dan pada pertempuran Ouw-Ullath pasukan Martha Christina kalah dan ayahnya dijatuhi hukuman mati.
Martha dipekerjakan secara paksa di perkebunan di Pulau Jawa dan kondisi kesehatannya memburuk. Martha Christina Tiahahu meninggal dunia pada 2 Januari 1818.
Setiap tanggal 2 Januari, Maluku memperingati Hari Martha Christina Tiahahu dengan parade budaya.
Cut Nyak Dien
Ia adalah pahlawan perempuan asal Aceh yang berjuang melawan penjajah Belanda. Cut Nyak Dien lahir dari keluarga bangsawan Aceh pada 24 November 1848.
Cut Nyak Dien sempat menikah dua kali. Setelah suami pertamanya meninggal, ia lantas menikah dengan Teuku Umar yang juga seorang pejuang dan tokoh penting dalam perlawanan Aceh terhadap penjajahan Belanda.
Setelah menikah, Cut Nyak Dien dan Teuku Umar bekerja sama mengatur strategi perang melawan Belanda hingga akhirnya Teuku Umar ditangkap di Belanda dan diasingkan ke Pulau Jawa.
Tak patah arang, Cut Nyak Dien tetap melanjutkan perjuangannya. Salah satu strategi taktis yang sering digunakan adalah gerilya dan menggunakan wilayah sulit dijangkau penguasaan medan tempur.
Cut Nyak Dien meninggal dunia pada 6 November 1908 karena sakit saat pengasingan di wilayah Sumedang.
Kini, untuk menghormati perjuangannya, didirikan Museum Cut Nyak Dien yang berlokasi di Desa Lampisang, Kecamatan Montasik, Aceh Besar, Aceh.
Nyi Ageng Serang
Pernahkah kamu mendengar pahlawan wanita Indonesia bernama Nyi Ageng Serang? Fakta menarik tentangnya yaitu, ia bahkan tetap gigih melawan penjajah meski usianya telah memasuki 73 tahun.
Mengutip Buku Kisah 124 Pahlawan dan Pejuang Nusantara (2006) karya Gamal Komandoko, Nyi Ageng Serang atau yang memiliki nama asli Wulaningsih Retno Edhi lahir pada tahun 1752 di Serang.
Putri dari Pangeran Natapraja ini mempelajari strategi perang dan diplomasi di lingkungan keraton.
Ia juga dikenal sebagai penasihat Pangerang Diponegoro dalam Perang Jawa di tahun 1825 hingga 1830.
Karena umurnya yang tak lagi muda, Nyi Ageng Serang mengundurkan diri dari perang dan menghabiskan masa tuanya di rumah keluarga Natapraja di Yogyakarta lalu meninggal dunia pada 1838.
Jenazahnya dimakamkan di wilayah Beku, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Rohana Koeddoes
Sering disebut dengan Kartini Sumatera, Rohana Kudus adalah pelopor emansipasi wanita di Sumatera Barat.
Dikenal sebagai pendidik, guru agama, guru sekolah, guru kerajinan wanita, bahkan wartawati pertama di Indonesia.
Kisah perjuangannya dimulai dalam bidang pendidikan dengan mendirikan sekolah kerajinan wanita dengan nama Amai atau jika diartikan dalam Bahasa Indonesia yaitu Ibu, di kampung halamannya tahun 1892.
Rohana belajar jurnalistik secara otodidak dan mendirikan surat kabar Soenting Melajoe di tahun 1912. Artikelnya berisi tentang pendidikan perempuan serta anti-kolonial.
Nama Roehana Koeddoes kini dipakai sebagai kantor perpustakaan dan sekolah di Padang.
Laksamana Malahayati
Putri Sultan Aceh yang lahir pada 1550 dari Kesultanan Aceh Darussalam ini telah terlatih seni perang laut dan strategi militer Aceh sejak muda.
Malahayati juga memimpin 2.000 pasukan Inong Balee (janda pejuang) untuk melawan Portugis serta Belanda dan mempertahankan kekuasaan Aceh di Selat Malaka.
Malahayati meninggal pada 1582 dan kini namanya diabadikan menjadi armada modern NKRI dan nama jalan utama di Aceh.
Selain itu, terdapat juga Monumen Malahayati di Banda Aceh untuk menunjang keberlanjutan ingatan publik terhadap pahlawan wanita Indonesia tersebut.
Cut Nyak Meutia
Cut Nyak Meutia adalah salah satu pahlawan wanita Indonesia asal Pirak, Aceh Utara yang lahir pada 1870.
Anak perempuan satu-satunya dari pasangan Teuku Ben Pirak dan Cut Jah ini tumbuh menjadi seorang pemberani.
Saat dewasa, Cut Nyak Meutia berperang melawan penjajah Belanda bersama suaminya, Teuku Muhammad atau yang juga dikenal sebagai Teuku Tjik Tunong.
Teuku Tjik Tunong meninggal dunia pada Maret 1905 setelah ditangkap dan dihukum mati oleh Belanda.
Cut Nyak Meutia kembali menikah dengan Pang Nagroe dan tetap melanjutkan perjuangan melawan penjajah Belanda.
Sayangnya, suami kedua Cut Meutia tewas pada September 1910 dalam pertempuran melawan Belanda.
Ia harus hidup berpindah-pindah bersama anak-anak dan para pasukannya sambil bergerak maju menuju Gayo.
Pada 24 Oktober 1910, Cut Meutia bersama pasukannya bentrok dengan pasukan Belanda di Alue Kurieng dan meninggal dunia dalam pertempuran tersebut.
Pada 1964, Cut Meutia diangkat sebagai pahlawan nasional dan patung serta museum di Aceh menjadi tujuan edukasi serta sejarah.
Maria Walanda Maramis
Memiliki nama lengkap Maria Josephine Catherine Maramis, ia lahir di Minahasa, Sulawesi Utara.
Maria Walanda Maramis merupakan putri pasangan Bernardus Maramis dan Sarah Rotinsulu.
Salah satu pahlawan wanita Indonesia ini berjasa dalam mendirikan organisasi Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunannya (PIKAT) untuk pendidikan perempuan pada Juli 1917. Ia memperjuangkan hak perempuan dalam politik dan kesehatan.
Maria Walanda Maramis meninggal dunia pada tahun 1924 dan diangkat menjadi pahlawan nasional pada Mei 1969.
Masyarakat kini dapat mengenal pahlawan wanita asal Sulawesi Utara tersebut melalui Museum PIKAT yang terletak di Manado.
Opu Daeng Risaju
Pahlawan wanita asal Luwu, Sulawesi Selatan ini lahir pada 1880 di Palopo dari pasangan Muhammad Abdullah To Baresseng dan Opu Daeng Mawellu.
Ia rajin belajar mengaji Al Quran, aktif di Syarikat Islam Indonesia sejak 1927, dan memimpin gerakan anti Belanda.
Karena pengaruhnya yang besar dalam politik hingga membuat popularitasnya meningkat, gelar bangsawannya dicabut oleh pemerintah Belanda.
Tak sampai di situ, Opu Daeng Risaju juga ditangkap dan diadili atas tuduhan pengkhianatan serta dipenjara selama 14 bulan pada tahun 1934.
Setelah bebas, ia tetap menjalankan perjuangannya dengan mendirikan cabang-cabang Partai Persatuan Islam Indonesia (PSII) di Sulawesi Selatan.
Ia kembali ditangkap, dipenjara, dan disiksa hingga membuatnya tuli. Tahun 1964, Opu Daeng Risaju meninggal dunia. Namanya diangkat sebagai pahlawan nasional pada 2006.
Kini, kita menjadi lebih mengenal siapa saja pahlawan-pahlawan wanita Indonesia di balik perwujudan kemerdekaan seperti yang kita rasakan saat ini.
/skola/read/2025/04/23/160000669/10-daftar-pahlawan-wanita-indonesia--ra-kartini-hingga-dewi-sartika