Parapuan.co - Monosodium glutamat (MSG) telah menjadi bagian tak terpisahkan dari cita rasa banyak hidangan di seluruh dunia, terutama di Asia. Namun, di balik kelezatannya, tersembunyi berbagai mitos dan kesalahpahaman yang telah melekat kuat di benak masyarakat selama bertahun-tahun.
MSG sering kali dikaitkan dengan berbagai efek samping kesehatan yang dikenal sebagai "Sindrom Restoran Cina" atau "MSG Symptom Complex." Namun, seiring berjalannya waktu dan penelitian ilmiah yang lebih mendalam, banyak dari klaim negatif seputar MSG terbukti hanyalah mitos belaka.
Hal tersebut seperti pernyataan para ahli yang coba meluruskan mitos keliru seputar MSG yang beredar di masyarakat. Seperti penjelasan Satria Gentur Pinandita selaku Ketua P2MI (Perkumpulan Pabrik Mononatrium Glutamat dan Asam Glutamat Indonesia), bahwa MSG itu merupakan bahan tambahan pangan alami yang diproduksi dengan teknologi fermentasi dengan menggunakan baku baku utama tetes tebu.
"MSG dapat memberikan rasa umami atau gurih pada masakan yang berkuah serta mampu mengurangi penggunaan garam sehingga masakan tersebut akan lebih sehat," ucap Satria dalam acara MSG : Bikin Halal Bi Halal Mu Makin Epic yang diadakan oleh Mamasuka dan P2MI.
Di sisi lain, Melliana Eka, Ahli Gizi dari Healthy Go Catering, menjelaskan bahwa makanan bergizi itu adalah suatu makanan yang seimbang dari mulai kecukupan protein, karbohidrat, serta keseimbangan rasa yang didapat dari bahan pangan tambahan seperti MSG.
Hal ini karena makanan yang dikonsumsi jangan sampai terasa hambar sehingga membuat orang yang menyantapnya tidak selera. Oleh karena itu dibutuhkan bahan pangan tambahan berupa MSG yang dapat memberikan rasa gurih serta membuat orang lebih lahap dalam menyantapnya.
"Makanan yang bergizi itu tidak hanya sekedar untuk memenuhi semua kebutuhan tubuh, tapi mengabaikan rasa. Karena dari rasa itu segala komponen makanan dapat dirasakan oleh lidah dan menambah selera orang itu," ujar Eka.
Sebagai informasi, karakteristik "self-limiting" pada MSG menyebabkan penambahan yang berlebihan menghasilkan cita rasa yang kurang sedap. Kemampuan manusia untuk secara otomatis membatasi konsumsi MSG terwujud karena kelebihan akan menimbulkan rasa yang tidak palatable.
Lebih lanjut, konsep makanan terbaik atau terburuk bersifat relatif, yang esensial adalah penentuan porsi yang sesuai.
Baca Juga:
Masyarakat harus mulai memahami bahwa MSG adalah bumbu rasa umami yang terdiri dari Sodium, Asam Glutamat dan Air. Menurut lembaga keamanan pangan dunia (JECFA-FAO/WHO) dan nasional (BPOM/Kemenkes) MSG aman dikonsumsi.
Berbagai penelitian pada manusia terbukti MSG tidak memberatkan beberapa kondisi penyakit. Dalam Jurnal Mutu Pangan Vol. 1(2) :83-90, 2014 disebutkan bahwa Penggunaan bumbu umami dapat meningkatkan asupan gizi pasien TBC dan mempercepat penyembuhan penyakit.
Hal ini memperkuat penelitian sebelumnya dari The American Journal of Clinical Nutrition edisi Vol 90, September 2009 tentang Uji Klinis Glutamat untuk Peningkatan Gizi dan Kesehatan pada Lansia di Jepang.
Satria Gentur Pinandita pun berharap semua pihak turut serta secara aktif dalam memberikan edukasi kepada masyarakat luas dan segala lapisan usahanya yang menggunakan bahan-bahan alami dalam makanan mereka.
Termasuk memberikan ketenangan mengenai bagaimana amannya MSG itu apabila digunakan sebagai penyedap rasa, serta memberikan tanggapan positif atas segala usaha pengurus P2MI dalam memberikan edukasi atau contoh bagaimana penggunaan MSG secara bijak.
"Saya berharap pemerintah ikut berperan aktif dari mulai hulu hingga hilir dari mulai lahan pertanian tebu hingga pabrik yang mengolah tebu itu menjadi bahan dasar dari industri pangan maupun industri lainnya, karena kebutuhan akan tebu ini dan turunannya masih sangat banyak terutama bagi industri pangan dimana MSG itu dihasilkan dari produk alami, serta Pemerintah melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dapat memberikan edukasi bahwa produk MSG itu sangat aman untuk dikonsumsi", tutup Satria.
(*)
Baca Juga: