Parapuan.co - Apakah kamu pernah merasa keluhan kesehatanmu kerap diremehkan hanya karena kamu perempuan? Jika ya, maka mungkin kamu mengalami medical misogyny, sebuah fenomena yang perlu kita sadari bersama.
Apa Itu Medical Misogyny?
Medical misogyny adalah istilah yang menggambarkan bagaimana perempuan sering diperlakukan tidak adil dalam pelayanan kesehatan, sehingga mereka sulit mendapatkan diagnosis atau pengobatan yang benar dan tepat waktu. Seperti mengutip Glamour Magazine via , laporan dari Women and Equalities Committee (WEC) di Inggris mengungkapkan bahwa sistem kesehatan selama ini telah mengabaikan kebutuhan perempuan dalam urusan kesehatan reproduksi dan mental.
Menurut laporan tersebut, stigma terhadap kesehatan reproduksi perempuan sangat mendarah daging, sehingga banyak perempuan harus menunggu bertahun-tahun untuk mendapatkan diagnosis dan perawatan yang tepat.
"Diagnosis lambat bukan hanya karena gejala kondisi kesehatan reproduksi sering kali tidak spesifik, tetapi juga karena kurangnya keahlian dan sumber daya. Perempuan diberi tahu bahwa gejala seperti perdarahan hebat dan nyeri serta inkontinensia itu 'normal', bahwa mereka terlalu muda untuk memiliki suatu kondisi, atau terlalu tua untuk berharap mendapat pengobatan," demikian yang tertulis di laporan tersebut.
Kurangnya pemahaman di tingkat pelayanan kesehatan dasar memperburuk masalah ini. Contohnya, diagnosis PCOS (sindrom ovarium polikistik) yang dialami aktris Florence Pugh, ditolak oleh tenaga medis di Inggris setelah sebelumnya didiagnosis oleh dokter spesialis di Amerika Serikat.
Kesehatan Mental Perempuan Tak Dianggap Serius
Medical misogyny tidak hanya terbatas pada isu organ reproduksi. Perempuan yang mencari bantuan untuk masalah kesehatan mental pun sering dicap drama queen. Studi dari Campaign Against Living Miserably (CALM) menemukan bahwa satu dari lima perempuan pernah disebut "terlalu dramatis" saat mencari bantuan untuk kesehatan mental mereka.
Studi yang sama juga mengungkapkan, lebih dari 27 persen perempuan merasa keluhan mereka diabaikan karena dianggap hanya disebabkan oleh hormon. Sebanyak 20 persen bahkan ditanya, "Apakah kamu sedang haid?" saat mengungkapkan krisis mental mereka.
Menyedihkannya lagi, 22 persen perempuan merasa takut dicap "cari perhatian" saat mengalami serangan panik atau depresi. Hal ini membuat mereka enggan mencari bantuan sejak awal, padahal justru itulah yang dibutuhkan.
Baca Juga:
CEO CALM, Simon Gunning, menyatakan, "Prasangka yang merugikan membuat perempuan muda tidak terdengar, tidak didukung, dan nyawa mereka kini lebih terancam dari sebelumnya."
Ketidakadilan yang Mengancam Nyawa
Medical misogyny bukan hanya menyakitkan secara emosional, tapi juga membahayakan secara fisik. Studi dari British Journal of Anaesthesia pada 2022 menunjukkan bahwa perempuan memiliki kemungkinan lebih kecil untuk mendapatkan obat penyelamat nyawa seperti tranexamic acid (TXA)—yang bisa mengurangi risiko kematian akibat pendarahan hingga 30 persen.
Studi ini melibatkan data dari 216.000 pasien trauma di Inggris dan Wales, dan menemukan bahwa perempuan dua kali lebih jarang diberikan TXA dibanding pria. Sementara itu, studi dari JAMA Surgery mendapati bahwa perempuan lebih mungkin mengalami komplikasi dan bahkan kematian pasca operasi jika ditangani oleh dokter bedah laki-laki, dibanding jika operasinya dilakukan oleh dokter perempuan.
“Hasil ini berdampak nyata bagi pasien perempuan, termasuk lebih banyak komplikasi, rawat inap ulang, dan kematian,” kata Dr. Angela Jerath, penulis studi dan epidemiolog klinis dari University of Toronto.
Kenapa Perempuan Beralih ke Terapi Alternatif?
Dengan berbagai ketimpangan yang kamu lihat di atas, tidak mengherankan jika banyak perempuan mulai beralih ke terapi alternatif atau pendekatan holistik. Emma Cannon, seorang ahli kesuburan holistik, menyatakan "Saya percaya wellness berkembang karena banyak orang tidak mendapatkan apa yang mereka butuhkan dari sistem kesehatan. Sudah 25 tahun saya mencoba menjembatani keduanya."
Menurut Emma, dunia medis yang sangat patriarkal sering kali mengabaikan faktor gaya hidup yang sebenarnya punya dampak besar terhadap kesehatan perempuan. Misalnya, dalam program IVF (bayi tabung), banyak klinik tidak membahas soal kehidupan seksual pasangan, padahal ini adalah faktor penting.
Baca Juga:
"Sistem kadang tidak menawarkan apa pun jika mereka tidak yakin ada solusi medis. Tapi gaya hidup juga sangat memengaruhi hasil kesehatan," ujar Emma.
Jadi, Apa Solusinya?
Menghadapi medical misogyny, kamu tidak harus menolak layanan medis konvensional atau sepenuhnya menyerahkan diri ke terapi alternatif. Menurut Emma Cannon, yang perempuan butuhkan adalah sistem kesehatan yang mendengarkan, memahami, dan menghargai tubuh serta pengalamanmu sebagai perempuan.
Karena kamu berhak mendapatkan pengobatan yang adil, tepat, dan manusiawi—tanpa harus membuktikan bahwa rasa sakitmu itu nyata. Mudah-mudahan medical misogyny ini tidak kita alami, dan tidak terjadi di dunia medis di sekitar kita ya, Kawan Puan.
(*)