Parapuan.co - Beberapa waktu belakangan perdebatan man versus bear sedang viral di TikTok sejumlah negara Barat.
Bahkan akun @screenshothq turut membuat video polling yang bertanya kepada sejumlah perempuan, “Jika kamu sendirian di hutan, apakah kamu lebih suka bertemu laki-laki atau beruang?”
Dari video viral di TikTok tersebut, tujuh dari delapan perempuan yang menjawab memilih lebih baik bertemu beruang di hutan daripada laki-laki.
The question of being stuck in a forest with a man or a bear is circulating on TikTok right now and sparking some interesting conversation.... we know what our answer would be ????????
Melansir dari , tren man vs bear ini pun memicu perdebatan, yang ditanggapi dengan banyaknya komentar hingga video opini dari pengguna TikTok lainnya.
Adapun dalam pembahasan tersebut menunjukkan bagaimana perempuan merasa lebih nyaman jika bertemu beruang alih-alih laki-laki.
Misalnya seperti komentar dari akun @f.cherry001 di video @screenshothq yang berkomentar “Beruang. dan JIKA saya diserang, orang tidak akan mempertanyakan apa (baju) yang saya kenakan.”
Sedangkan @zoe.ebarb turut berujar, "Seekor beruang tidak akan menyerang saya dan kemudian memberi tahu teman-temannya bahwa saya menyukainya."
Begitu juga dengan akun @xwhuffles yang mengatakan “100% beruang. Hal terburuk yang bisa dilakukan beruang adalah membunuhku.”
Pendapat perempuan yang lebih memilih bertemu beruang alih-alih laki-laki di hutan rupanya tak mudah dipahami oleh sebagian laki-laki.
Baca Juga:
Misalnya seperti sebagian laki-laki yang mengunggah video tanggapan di TikTok mengatakan bahwa keputusan kebanyakan perempuan memilih bertemu beruang dinilai tidak logis.
Bagi mereka, beruang adalah hewan liar berbahaya yang bisa dengan instan membunuh manusia, yang seharusnya ditakuti oleh perempuan.
Lantas mengapa kebanyakan perempuan memilih bertemu beruang daripada laki-laki ketika berada sendirian di hutan?
Perdebatan man vs bear menimbulkan ketegangan. Banyak perempuan berpendapat bahwa laki-laki tidak akan pernah benar-benar memahami bagaimana rasanya menjadi kaum hawa, atau bahaya yang kerap dialaminya.
Perlu diingat bahwa selama berabad-abad, perempuan jadi sasaran empuk korban kekerasan, yang kebanyakan dilakukan oleh laki-laki.
Menurut temuan tahun 2021, hampir satu dari tiga—atau 736 juta—perempuan berusia di atas 15 tahun di seluruh dunia pernah mengalami kekerasan oleh pasangan intim atau kekerasan seksual non-pasangan setidaknya sekali dalam seumur hidup mereka.
Berdasarkan data yang sama, menilai bahwa gadis remaja lebih berisiko dibandingkan perempuan dewasa.
Perempuan muda berusia 15 hingga 19 tahun adalah kelompok yang paling rentan terkena dampak kekerasan oleh pasangan intim.
Pada saat mereka berusia 19 tahun, hampir 1 dari 4 remaja perempuan (24%) yang pernah menjalin hubungan, pernah mengalami pelecehan fisik, seksual, atau psikologis oleh pasangannya.
Baca Juga:
Selain itu, di seluruh dunia, diperkirakan 6% perempuan dan anak perempuan berusia 15 hingga 49 tahun telah mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh non-partner sexual violence (NPSV) atau orang yang bukan pasangannya setidaknya sekali sejak usia 15 tahun.
Adapun NPSV dapat dilakukan oleh anggota keluarga, teman, kenalan, atau orang asing.
Sementara menurut data United Nations tahun 2020, dalam kasus-kasus ekstrem, kekerasan terhadap perempuan berakibat fatal, dengan perkiraan 137 perempuan dibunuh oleh pasangan intimnya atau anggota keluarganya setiap hari di seluruh dunia.
Walau perdebatan ini menyeruak di luar negeri, namun kasus-kasus serupa juga masih banyak terjadi di Indonesia.
Menurut Catatan Tahunan Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan), terdapat 401.975 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2023.
Selama tahun 2023, tercatat 159 perempuan menjadi korban femisida. Femisida intim (dilakukan oleh pasangan atau mantan pasangan) merupakan jenis yang paling banyak terjadi, dengan total 109 kasus.
Selain itu juga tercatat adanya femisida non-intim dan bunuh diri yang terjadi akibat kekerasan berbasis gender.
Hal ini merupakan pengingat akan skala ketidaksetaraan gender dan diskriminasi terhadap perempuan.
Ironisnya, bentuk kekerasan terhadap perempuan ini juga mendapat stigma, dan dalam masyarakat tradisional atau patriarki, para penyintas sering kali disalahkan.
Baca Juga:
Di sisi lain, temuan (2023), menunjukkan secara global, sekitar 35% perempuan pernah menghadapi pelecehan seksual, namun kurang dari 40% yang mencari bantuan, dan kurang dari 10% yang menghubungi lembaga penegak hukum.
Banyak korban tidak melapor karena alasan rasa malu, ketakutan akan pembalasan dari pemerkosa, bahkan ketakutan terhadap reaksi keluarga korban sendiri.
Selain itu, undang-undang di banyak negara yang melarang kekerasan seksual tidak memadai, tidak konsisten, atau tidak ditegakkan secara teratur.
Hal ini dapat membuat korban yakin bahwa melibatkan penegak hukum tidak akan ada gunanya.
Dan dalam beberapa kasus justru malah memperburuk keadaan dan bukannya memperbaiki keadaan.
Berdasarkan data yang sama menjelaskan bahwa dampak dari hal ini membuat sebagian besar pemerkosa lolos dari hukuman.
Misalnya saja di Amerika Serikat, diperkirakan hanya 9% pemerkosa yang diadili, dan hanya 3% yang mendekam di penjara, sedangkan 97% pemerkosa bebas berkeliaran.
Padahal, kekerasan ini menyebabkan kerugian seumur hidup bagi perempuan, mempengaruhi kesehatan fisik, mental, seksual, dan reproduksi mereka.
Fakta-fakta ini yang pada akhirnya menyadarkan perempuan bahwa mereka adalah kelompok paling rentan terjadinya kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki.
Walau, pada perdebatan ini sebagian kaum adam berdalih ‘not all men’ atau ‘tidak semua laki-laki’ adalah pelaku kekerasan terhadap perempuan, namun apa yang terjadi selama ini cukup membukakan mata para perempuan tentang bahayanya.
Maka tidak heran jika kebanyakan perempuan lebih memilih untuk bertemu dengan beruang daripada laki-laki asing di hutan.
Bagaimana menurut Kawan Puan? Sampaikan pendapatmu di kolom komentar yah.
(*)
Baca Juga: