KOMPAS.com - Amerika Serikat resmi memberlakukan tarif impor baru sebesar 47 persen terhadap produk tekstil asal Indonesia.
Kebijakan ini merupakan bagian dari tarif resiprokal yang diumumkan Presiden AS, Donald Trump, dan berdampak signifikan terhadap daya saing ekspor Indonesia.
Dilansir 优游国际.com (21/04/2025), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menjelaskan bahwa kebijakan ini menyasar produk tekstil dan garmen sebagai komoditas utama.
“Dengan diberlakukannya 10 persen tambahan, maka tarifnya itu menjadi 10 persen ditambah 10 persen ataupun 37 persen ditambah 10 persen,” kata Airlangga dalam konferensi pers virtual, Jumat (18/4/2025).
Sebelum penambahan tarif ini, rata-rata bea masuk produk tekstil Indonesia ke AS berkisar 10–37 persen. Setelah kebijakan ini diberlakukan, total tarif impor naik menjadi 20–47 persen.
Baca juga: Dampak Kenaikan Tarif Impor terhadap Ekonomi Global dan Harga Sehari-hari
Airlangga menyebutkan bahwa produk lain yang terdampak meliputi garmen, alas kaki, furnitur, dan udang. Hal ini membuat Indonesia kalah saing dibanding negara-negara pesaing dari ASEAN maupun Asia lainnya.
“Ini juga menjadi concern bagi Indonesia karena dengan tambahan 10 persen ini ekspor kita biayanya lebih tinggi,” ujarnya.
Pemerintah Indonesia mengirimkan delegasi untuk bernegosiasi dengan AS dan menawarkan kerja sama strategis.
RI mengajukan pembelian gas petroleum cair (LPG), minyak mentah, dan bensin dari AS sebagai bentuk timbal balik.
“Kami berharap dalam 60 hari kerangka tersebut bisa ditindaklanjuti dalam bentuk format perjanjian yang akan disetujui antara Indonesia dan Amerika Serikat,” jelas Airlangga.
Baca juga:
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menyampaikan kekhawatiran mengenai potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal akibat tarif baru dari AS. Menurutnya, sekitar 1,2 juta tenaga kerja berisiko kehilangan pekerjaan.
“Kita hitung hasilnya itu 1,2 juta dan untuk produksi TPT (tekstil dan produk tekstil) sendiri itu sekitar 191.000 tenaga kerja yang berpotensi terkena PHK,” kata Nailul dalam diskusi Forwin, Kamis (17/4/2025).
Ia juga mengungkapkan bahwa sektor lain seperti pertanian dan industri kimia dasar turut terancam, termasuk sektor palm oil yang berpotensi kehilangan 28.000 tenaga kerja.
“Pasar internasional turun, otomatis produksi turun, otomatis akan memengaruhi tenaga kerja yang digunakan. Ini yang kita lihat efeknya sampai ke sana,” tambahnya.
Baca juga:
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan bahwa pemerintah tengah menyiapkan insentif untuk mendukung industri tekstil dan produk tekstil (TPT).