Perkiraan di atas merujuk pada pola perubahan tata-guna lahan tahun 2005 di Bumi. Begitu hasil riset dan kajian Profesor Timothy O Randhir dan Ammara Talib dari University of Wisconsin di Amerika Serikat (AS), yang dirilis PLOS Water edisi 26 April 2023.
Riset dan kajian Randhir et al (2023), ahli pelestarian lingkungan, adalah sinyal kuat tentang risiko krisis air atau katastrofe air di Bumi. Ini harus diantisipasi dan dicegah. Kita lihat tren hasil riset selama dua dekade terakhir tentang risiko perubahan tata-guna lahan, misalnya Jothityangkoon et al (2001:1-4), Reidsma, et al (2006), Mao et al (2009:1-2), Spencer et al (2017:587-588), dan Mallya et al (2021).
Riset-riset dan kajian tersebut menyebut bahwa perubahan tata-guna lahan pertanian dan pengembangan kota-kota memicu perubahan ketersediaan dan aliran air dan kepunahan keragaman-hayati akibat lonjakan konsumsi energi, air, dan pupuk.
Selain itu, perubahan tata-guna lahan sangat memengaruhi kualitas air, khususnya muatan sediman pada limpasan air perkotaan melalui DAS. Muatan-muatan sedimen pada aliran air mempengaruhi kualitas air dan kimia air dan morfologi saluran air hingga habitat hilir.
Kini kita mengalami keadaan kontras atau bahkan paradoks. Misalnya, tahun 2018, kira-kira 2,3 miliar penduduk dunia hidup di lingkungan "stres air", yakni krisis sosial ekonomi akibat rasio tidak seimbang antara konsumsi air tawar (freshwater) dan ketersediaan air tawar; sekitar 3,6 miliar orang tidak memiliki akses air memadai selama sebulan per tahun; tanpa upaya kendali risiko krisis air, jumlah ini berkisar 5 miliar tahun 2050.
Begitu laporan FAO (Food and Agriculture Organization) PBB, dan UN Water tahun 2021 dari Roma, Italia.
Di sisi lain, tahun 2000-2020, bencana banjir naik tajam hingga 134 persen, jika dibanding dengan bencana banjir 1980-2000 di dunia. Bencana kekeringan naik 25 persen tahun 2000-2020, jika dibanding kekeringan tahun 1980-2000 (UNDRR, CRED, 2020).
Tahun 2020-2021, Tiongkok, India, Indonesia, dan Pakistan, dilanda banjir hebat yang menelan banyak korban jiwa dan kerugian ekonomi. Lonjakan kekeringan dan badai panas menelan banyak korban jiwa di zona Afrika. Begitu hasil kajian lebih dari 100 ahli World Meteorological Organization (WMO) dari Geneva, Swiss, tahun 2021.
Namun, zona Eropa juga kini dilanda bencana banjir. “Catastrophic flooding in Europe led to hundreds of deaths and widespread damage!” ungkap Profesor Petteri Taalas (2021), Sekjen WMO. Banjir menelan korban jiwa ratusan orang dan kerugian ekonomi skala besar di Eropa.
Ahli-ahli WMO (2021), badan cuaca Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), meneliti krisis dan bencana berkaitan dengan air pada 101 negara. Hasilnya, 60 persen negara perlu memiliki sistem peringatan dini antisipasi atau pencegahan banjir, kekeringan, dan badai panas. Sebab sebagian besar negara tidak siap menghadapi banjir, topan, kekeringan, dan badai panas, khususnya akibat perubahan iklim akhir-akhir ini.
Pesan penting dari kajian WMO (2021) ialah negara-negara telah gagal mengelola air secara sehat-lestari di planet Bumi. “107 countries remain off track to hit the goal of sustainably managing their water resources by 2030,” ungkap laporan WMO (2021).
Jadi, sekitar 107 negara bakal gagal meraih tata-kelola pasokan dan akses air secara sehat-lestari sesuai target pembangunan lestari atau SDGs (Sustainable Development Goals) tahun 2030.
Pada 17 Mei 2023, sejumlah ahli iklim pada Universitas Oxford di Inggris, merilis hasil kajian tentang badai panas selama 60 tahun terakhir berdasarkan data European Centre for Medium-Range Weather Forecasts di zona Eropa Barat-Laut.
Hasilnya, saat ini, suhu maksimum (udara) dekat permukaan Bumi naik dua kali lipat dari suhu maksimum rata-rata hari musim panas di Eropa selama ini. Dr Matthew Patterson, ahli fisika, memimpin riset itu yang dirilis jurnal Geographical Research Letters edisi 17 Mei 2023.
“These findings underline the fact that the UK and neighbouring countries are already experiencing the effects of climate change,” papar Dr Matthew Patterson. Hasil riset itu mengaris-bawahi fakta kini bahwa negara-negara Eropa telah mengalami risiko akibat perubahan iklim, dan pemerintah Eropa belum siap menghadapi badai panas masa datang.
Pelajaran penting dari badai panas di Eropa akhir-akhir ini antara lain pemerintah negara-negara Eropa gagal mencegah risiko akibat perubahan iklim; teknologi atau sains modern gagal mencegah risiko akibat perubahan iklim atau pemanasan global. Misalnya, komite perubahan iklim Pemerintah Inggris, Climate Change Committee (CCC) (2023) menyebut bahwa Inggris tidak siap menghadapi badai-panas akhir-akhir ini.
Gelombang panas ekstrim tahun 2022 melanda Inggris. Badai panas itu mencapai 40 derajat Celsius. Menurut kajian CCC (2023), bencana iklim itu adalah contoh dan peringatan. Ketika lebih dari 3.000 orang meninggal dan 20 persen operasi rumah sakit batal pada puncak badai panas.
Ketua CCC Chris Stark memperkirakan, badai panas ekstrem itu bakal sering terjadi tanpa antisipasi dan kendali risiko (Damian Carrington, 2023).
Risiko-risiko bencana iklim akibat pola hidup dan kegiatan manusia bakal lebih hebat dan cepat dari perkiraan semula. Suhu global bakal terus naik hingga tahun 2050; kecuali target net-zero emisi karbon dapat tercapai oleh banyak negara, khususnya India, AS, dan Tiongkok.
Begitu hasil kajian dari ratusan ahli Intergovernmental Panel on Climate Change (IPPC) selama Panel Sesi ke-58 di Interlaken, Swiss, 13-19 Maret 2023.
Profesor Sam Frankhauser (2023), ahli kebijakan dan iklim pada Universitas Oxford, memperkirakan bahwa jenis-jenis risiko masa datang antara lain bencana banjir, krisis air dan pangan, korban jiwa akibat badai panas ekstrem, rapuh infrastruktur, dan rapuh pasokan energi.
“European drought dries up rivers, kills fish, shrivels crops,” tulis Sylvie Corbet dan Nicolas Garriga (2022) tentang bencana kekeringan dan badai panas Eropa Agustus 2022. Sungai-sungai kering, ikan-ikan mati, dan tumbuhan-tanaman layu!
Risiko-risiko ini perlu cepat diantisipasi dan dicegah, khususnya selama 20 tahun terakhir, Bumi mengalami penurunan penyimpanan air (terrestrial water storage/TWS) kira-kira 1 cm per tahun. TWS adalah jumlah air permukaan tanah dan di bawah tanah—air permukaan, kelembaban tanah, salju, es, dan air tanah.
Secara umum, risiko banjir dan kekeringan ibarat saudara kembar. Misalnya, banjir adalah hilangnya air dari satu kawasan menuju satu titik tertentu. Solusinya, menurut Prof. Dr, Ing. Ir. Agus Maryono (2018) : “Kita harus menampung air hujan sebanyak-banyaknya di daerah hulu atau air harus diresapkan sebanyak mungkin di daerah hulu agar tidak terjadi kekeringan atau kebanjiran.”
Maka pelajaran penting dari banjir dan kekeringan di Eropa akhir-akhir ini ialah rapuh tata-kelola fungsi lahan yang menggerus zona-zona resapan air.
Air Makin Mahal
Saat ini, sekitar 1 dari 7 rumah-tangga di AS menghabiskan dana sekitar 4,6 persen dari gaji bulanan untuk membayar jasa layanan air dari perusahan. Jasa layanan air itu antara lain air minum, air masak, air cuci-mandi, air sanitasi, dan air limbah (waste-water).
Begitu hasil riset dan kajian Patterson et al (2023) yang dirilis jurnal PLOS Water edisi 10 Mei 2023.
Patterson et al meneliti layanan air kepada rumah-tangga oleh 787 perusahan air papan atas di AS selama ini. Rumah tangga menghabiskan 4,6 persen dari pendapatan bulanan guna membayar sekitar 6.000 galon air per bulan.
Jumlah 4,6 persen gaji itu kira-kira gaji satu hari kerja. Sekitar 17 persen rumah-tangga atau 28,3 juta orang sulit menjangkau layanan kebutuhan air pokok ini.
Di sisi lain, risiko pasokan air akibat perubahan iklim selama ini, mungkin dianggap remeh. Sedangkan riset-riset akhir-akhir ini menemukan bahwa perkiraan risiko pasokan air jauh lebih tinggi di AS, selain Australia dan Afrika hingga tahun 2050. Begitu hasil riset dan kajian Profesor Gunter Bloschl dan tim ahli iklim dan air asal Vienna University of Technology, yang dirilis oleh jurnal Nature Water, Februari 2023.
Profesor Gunter Bloschl et al (2023) meneliti data pengukuran 9.500 tangkapan air hidrologi (hydrological catchments) di seluruh dunia. Hasilnya, perubahan iklim memicu krisis air lokal yang jauh lebih hebat dari perkiraan selama ini. Sebab perubahan iklim juga mengubah sirkulasi atmosfer global yang mengubah curah hujan dan penguapan di dunia.
“In the climatology community, the effects of climate change on the atmosphere are very well understood. However, their local consequences on rivers and the availability of water falls into the field of hydrology," ungkap Gunter Bloschl.
Jadi, klimatologi atau ilmu cuaca memahami perubahan iklim terhadap atmosfer. Namun, dampak perubahan iklim terhadap sungai dan ketersediaan air adalah faktor hidrologi. Akibatnya, menurut Bloschl et al, perkiraan dampak perubahan iklim terhadap aliran sungai lazim dihitung secara fisik selama ini.
Awal abad 21, kualitas air dan kelangkaan air sehat telah menjadi isu global. Tiap negara merilis program kebijakan harga air. Misalnya, Australia menetapkan harga air sama secara nasional; ada perbedaan harga air lintas negara-bagian dan per sektor, misalnya kota, desa, dan lingkungan. Australia memiliki komitmen memperbaiki biaya pasokan air.
Cile berupaya mereformasi penetapan harga air dan desentralisasi pasokan air. Namun, tantangannya antara lain kondisi iklim ekstrim dan keberlanjutan dari program ekstraksi air tanah. Khusus risiko penerapan hak-hak air over-alokasi yang berisiko merusak ekosistem-ekosistem yang bergantung pada pasokan air.
Prancis berupaya menetapkan harga air yang diseimbangkan dengan anggaran biaya konservasi air. Prancis mengubah fokus kebijakan dari penetapan harga air melalui keseimbangan anggaran (cost recovery) ke konservasi air dan perlindungan hak-hak dari warga-negara dan masyarakat. Meski peralihan fokus kebijakan ini sulit merespons krisis air dan kekeringan akhir-akhir ini di Prancis.
Prancis sulit mengatasi mikro-polutan pada air minum. Ini pula risiko di seluruh Eropa. “We're using more and more chemicals at home, with household products… more medicines, more pesticides too. And these substances, when they're persistent, they also persist in the environment,” papar Marie Launay (2023), Ketua The Micro-Pollutants Competence Center, Baden-Württemberg di Perancis. Kini Perancis perlu membersihkan pestisida, sampah obat-obat, sampah kimia, dan sejenisnya, dari lingkungan dan air.
Risiko serupa dialami Spanyol. Spanyol menerapkan strategi harga khusus air. Namun, Spanyol terus dilanda kekeringan, polusi air sangat parah, dan dampak perubahan iklim (Ariel Dinar et al, 2015).
Sedangkan di Israel, ketersediaan air terbatas; air langka di Israel. Kondisi ini tercermin pada harga air sesuai sumber air, misalnya air hasil olahan air-limbah, air desalinasi, air tanah, air hujan, atau air permukaan tanah.
/global/read/2023/05/19/122239270/belajar-dari-krisis-air-di-eropa-dan-as