BANYAK di antara kita yang pernah mendengar istilah gastronomi maupun gastrokolonialisme. Namun, hanya sedikit yang benar-benar mengerti dan memahami dampak dari gastrokolonialisme atau penjajahan pangan.
Sebuah terminologi untuk menggambarkan kondisi di mana masyarakat luas tidak menyadari telah dikuasai dan dikendalikan oleh pangan ultra-olahan.
Pola konsumsi serta preferensi makanan masyarakat telah didominasi sedemikian rupa oleh produk-produk pangan ultra-olahan, yang umumnya tinggi kalori, gula, garam, lemak, dan cenderung tidak sehat, diproduksi secara massal oleh korporasi industri berskala besar.
Pelan tapi pasti menggeser makanan lokal serta pola makan tradisional yang sejatinya lebih sehat. Sebuah bentuk penjajahan modern dan amat rapi dalam aspek makanan, ekonomi, budaya sekaligus kesehatan masyarakat.
Namun, benarkah masih ada penjajahan (pangan) di era kemerdekaan ini? Mengapa umumnya tidak dirasakan atau dikeluhkan masyarakat? Lantas apa bahayanya?
Craig Santos Perez, seorang peneliti dan aktivis dari Guam, memperkenalkan istilah gastrokolonialisme untuk menggambarkan penjajahan pangan di Hawaii, di mana ketergantungan pada produk pangan ultra-olahan impor mengurangi status gizi masyarakat yang sebelumnya mengonsumsi pangan lokal yang jauh lebih bergizi.
Kondisi serupa terjadi di Merauke, Papua, yang sebelumnya memiliki sumber pangan lokal bergizi seperti sagu dan ubi, tetapi kini mulai tergeser oleh konsumsi pangan ultra-olahan, terutama beras dan gandum, yang mengarah pada ketergantungan dan kontrol pangan oleh produsen makanan besar.
Sophie Chao (2021) menjelaskan fenomena ini dalam artikel "Gastrocolonialism: The Intersections of Race, Food, and Development in West Papua."
Dalam konteks kekinian yang berlaku untuk masyarakat lainnya yang lebih luas, perusahaan besar melanggengkan kontrol tersebut, dengan menggunakan senjata berupa kesadaran palsu (false consciousness), yang diciptakan dan terus ditanamkan dalam benak konsumen melalui iklan dan pemasaran yang sangat masif dan agresif.
Kesadaran palsu merupakan konsep dan situasi di mana masyarakat konsumen tidak menyadari kepentingan nyata dan hak mereka terhadap pangan sehat, namun justru menerima pandangan yang seolah-olah benar, yang sesungguhnya hanya menguntungkan kaum pengusaha semata.
Dalam kasus kolonialisme pangan, kesadaran palsu muncul ketika masyarakat, melalui kampanye pemasaran pangan yang menampilkan produk ultra-olahan sebagai pilihan modern, sehat, dan praktis, percaya bahwa produk tersebut baik dan tidak berbahaya.
Iklan-iklan ini mengaitkan produk dengan gaya hidup ideal, menyembunyikan dampak negatif jangka panjangnya, sehingga masyarakat tanpa sadar mengadopsi kebiasaan makan yang dikendalikan oleh perusahaan besar.
Pada akhirnya merusak kesehatan, budaya, dan kemandirian pangan mereka, membentuk penjajahan yang amat halus dan samar melalui kontrol atas pikiran dan pilihan konsumen.
Ternyata benar, apa yang kita makan bukanlah sekadar pilihan pribadi yang sepenuhnya bebas merdeka.
Marion Nestle, penulis buku “Unsavory Truth: How the Food Industry Skews the Science of What We Eat,” menjelaskan bagaimana sebagian dari para raksasa global perusahaan makanan dan minuman memproduksi dan memasarkan makanan mereka dengan bias ilmu pengetahuan di baliknya.