JAKARTA, KOMPAS.com - Jasa retailer (pedagang eceran) termasuk supermarket dan minimarket, wajib memiliki sertifikat halal Majelis Ulama Indonesia (MUI), meski menjual produk nonhalal.
Hal itu disampaikan oleh Muti Arintawati, Direktur Utama LPPOM, dalam pertemuan dengan media di Jakarta Selatan, Kamis (3/10/2024).
"Sertifikat halal itu wajib dimiliki semua barang dan jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetika, produk kimia, produk biologi, produk hasil rekayasa genetika, serta barang konsumsi yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat," ungkap Muti.
Dalam hal ini, retailer bukan termasuk produk, melainkan jasa yang berkaitan dengan makanan dan minuman yang wajib bersertifikat halal.
Sertifikasi halal jasa retailer meliputi proses penanganan arus bahan atau produk yang wajib bebas dari najis yang dapat mengkontaminasi bahan maupun produk halal.
"Jadi, yang diutamakan adalah bagaimana retailer ini menangani arus bahan produk, sehingga tidak terjadi kontaminasi silang antara produk halal dan nonhalal," terang Muti.
Apalagi bila supermarket atau minimarket tersebut melayani pengolahan bahan makanan di dalam toko, retailer tersebut wajib memiliki sertifikat halal khusus pengolahan.
Hal ini membuat setiap retailer paling tidak memiliki lebih dari satu sertifikat halal untuk jasa penjualan dan pengolahan.
Adapun tiga jenis produk yang harus diidentifikasi saat proses sertifikasi halal adalah produk halal, produk haram, dan produk yang belum jelas status kehalalanya.
Produk yang jelas halal meliputi buah dan sayur, serta produk dengan sertifikat halal yang tidak perlu ditangani khusus.
Produk haram meliputi daging babi dan minuman keras yang harus dipastikan secara fasilitas tidak mengontaminasi produk halal.
Produk yang belum jelas status kehalalannya merupakan produk bebas babi, tetapi ditangani agar tidak mengontaminasi produk bersetifikat halal.
Perusahaan juga perlu memiliki prosedur tertulis berupa dokumentasi terpelihara, di antaranya terkait penerimaan, penanganan, proses dan penyimpanan, ketertelusuran penanganan produk, penanganan produk yang tidak sesuai kriteria, pelatihan personel, serta audit internal dan kaji ulang manajemen.
"Dengan adanya sertifikasi halal jasa retailer, konsumen mendapatkan jaminan bahwa ada aturan (kepastian) saat menjual produk halal dan nonhalal di satu tempat," kata Muti.
Misalnya, kepastian bahwa alat yang dipakai untuk mengolah bahan haram, tidak digunakan untuk mengolahan bahan halal.
Sejauh ini, Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) mencatat 48 retailer yang memiliki sertifikat halal di Indonesia.
Sejumlah supermarket dengan sertifikat halal jasa retailer tersebut adalah AEON, GrandLucky, Hypermart, K3Mart, dan Trans Retail.
Lebih lanjut, KH. Miftahul Huda, Sekretaris Komisi Fatwa MUI, menjelaskan bahwa dalam sertifikasi halal, peran MUI menjadi penjaga umat dari hal yang haram, serta memiliki bertugas memastikan kehalalan dan kesucian.
“Dalam fatwa suatu produk diharamkan karena terdapat najis atau terkena najis (mutanajjis), hal ini kontaminasi najis menjadi salah satu titik kritis dalam jasa retailer. Jika produk terkena najis bisa disucikan dengan air serta bahan pembersih. Proses penyucian dianggap sukses ditandai dengan hilangnya bau, rasa dan warna,” pungkas Miftahul.
/food/read/2024/10/05/160400775/supermarket-wajib-punya-sertifikat-halal-meski-jual-produk-nonhalal