优游国际

Baca berita tanpa iklan.
Arif Darmawan
Dosen

Dosen tetap di Jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED), Koordintor Pusat Riset Kebijakan Strategis Asia Tenggara, LPPM UNSOED

Tukin Dosen: Menelaah Ketimpangan Kebijakan Kesejahteraan Akademisi

优游国际.com - 21/04/2025, 13:17 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di
Editor

DALAM lanskap pendidikan tinggi Indonesia yang sedang bertransformasi, kebijakan tunjangan kinerja (Tukin) dosen telah menciptakan paradoks institusional yang mencolok.

Tukin bertujuan meningkatkan kualitas dan kesejahteraan tenaga pendidik, tapi implementasinya justru mempertegas stratifikasi dan ketimpangan struktural dalam komunitas akademik nasional.

Ironi kebijakan yang mendesak untuk dikaji secara kritis demi mewujudkan ekosistem pendidikan tinggi yang berkeadilan substantif.

Perpres No. 19 Tahun 2025 yang mengatur pemberian Tukin bagi dosen Aparatur Sipil Negara (ASN) telah menjadi bahan diskusi hangat di kalangan akademisi.

Kebijakan yang digaungkan sebagai terobosan untuk meningkatkan motivasi dan kesejahteraan dosen, ironisnya, justru menciptakan kategorisasi eksklusi yang problematik.

Dosen ASN di Perguruan Tinggi Negeri berstatus Satuan Kerja (PTN Satker) dan PTN Badan Layanan Umum (BLU) yang belum menerapkan sistem remunerasi mendapatkan akses terhadap Tukin. Sementara rekan-rekan mereka di PTN Badan Hukum (PTN-BH) dan PTN BLU dengan sistem remunerasi dikeluarkan dari skema ini.

Baca juga: Tukin untuk Dosen Swasta

Kesenjangan finansial institusional

Argumentasi yang mendasari pengecualian ini tampak logis secara permukaan: PTN-BH dan PTN BLU dengan remunerasi dianggap telah memiliki mekanisme insentif berbasis kinerja sendiri.

Namun, argumentasi ini mengabaikan realitas fundamental di lapangan yang kompleks dan beragam.

Sistem remunerasi yang diterapkan di berbagai perguruan tinggi Indonesia sangat bergantung pada kapasitas finansial masing-masing institusi yang tidak merata.

PTN-BH mapan seperti Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, atau Universitas Gadjah Mada mungkin mampu memberikan remunerasi yang kompetitif berkat pendapatan non-APBN yang substansial.

Namun, bagaimana dengan PTN-BH yang baru bertransformasi atau yang berlokasi di daerah dengan ekonomi kurang berkembang?

Pertanyaan kritis yang muncul adalah: apakah etis bagi negara untuk mengalihkan tanggung jawab kesejahteraan dosen sepenuhnya kepada kemampuan finansial masing-masing institusi?

Disparitas ekonomi regional yang signifikan di Indonesia secara langsung berimplikasi pada kemampuan pendanaan perguruan tinggi.

PTN-BH di daerah dengan aktivitas ekonomi rendah hampir pasti akan kesulitan menghasilkan pendapatan yang memadai untuk sistem remunerasi layak.

Selain itu, PTN BLU dengan sistem remunerasi tidak selalu mampu memberikan tunjangan setara dengan Tukin karena keterbatasan pendapatan.

Baca juga:

Asumsi homogenitas dalam kemampuan finansial perguruan tinggi inilah yang menjadi kelemahan mendasar dari kebijakan Tukin saat ini.

Lebih jauh, kondisi ini menciptakan ekosistem akademik yang terbelah dan tidak setara. Dosen dengan kualifikasi, beban kerja, dan tanggung jawab serupa menerima kompensasi yang sangat berbeda semata-mata karena perbedaan status administratif dan lokasi institusi tempat mereka mengabdi. Hal ini berpotensi memicu berbagai konsekuensi kontraproduktif.

Pada proses rekrutmen dosen baru di masa mendatang, misalnya, PTN dengan sistem kompensasi yang lebih menarik kemungkinan besar akan menjadi pilihan utama para kandidat berbakat, menghasilkan pergeseran distribusi sumber daya manusia berkualitas dalam ekosistem pendidikan tinggi nasional.

Dalam jangka panjang, fenomena ini dapat memperparah kesenjangan kualitas antarperguruan tinggi di berbagai wilayah Indonesia.

Mendalami kebijakan Tukin lebih jauh, mekanisme perhitungan "selisih" antara besaran Tukin berdasarkan kelas jabatan dan Tunjangan Profesi yang telah diterima menunjukkan kerangka berpikir yang cenderung mekanistis.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan.
Komentar
Baca berita tanpa iklan.
Close Ads
Penghargaan dan sertifikat:
Dapatkan informasi dan insight pilihan redaksi 优游国际.com
Network

Copyright 2008 - 2025 优游国际. All Rights Reserved.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses 优游国际.com
atau