KOMPAS.com – Pagi itu, mentari di Kota Glasgow, Skotlandia, seakan muncul malu-malu, mengintip di balik awan kelabu, menyinari langkah cepat Paramita Rupasari yang bergegas menuju perpustakaan University of Strathclyde.
Segelas kopi hangat tergenggam erat di tangannya, menjadi pendamping setia dalam menghadapi dinginnya kota yang kini menjadi rumah keduanya untuk mengenyam pendidikan.
Di negeri yang jauh dari tempat ia tumbuh, Mita telah beradaptasi dengan banyak hal, irama kota yang berbeda, udara dingin yang menusuk, bahkan kebiasaan-kebiasaan kecil yang tak pernah ia temui sebelumnya.
Baca juga: British Council Buka Beasiswa Khusus Perempuan, Kuliah Gratis di Inggris
Paramita adalah mahasiswa internasional asal Indonesia yang menempuh pendidikan di Glasgow, Skotlandia, dengan jurusan Digital Manufacturing.
Sebagai penerima beasiswa Women in STEM, ia berbagi berbagai pengalaman menarik selama kuliah di Glasgow, mulai dari tantangan beradaptasi, menghadapi perbedaan cara mengajar dosen di Inggris dan Indonesia, hingga serunya mencicipi makanan lokal.
Sejauh langkah yang dilalui Mita hingga ke Skotlandia, rindunya tetap berlabuh pada kehangatan yang ia kenal sejak kecil, pada nasi yang mengepul, pada rempah yang "menari" dalam kuah.
“Aku jarang makan makanan lokal di sana,” tuturnya, pada acara StudyUK Connect 2025, Sabtu (08/02/2025).
Ia mengakui merasa aneh dengan Haggis, makanan tradisional khas Skotlandia sejenis pudding daging yang dimasak dalam kantong yang biasanya terbuat dari perut domba.
Isian haggis terdiri dari campuran daging cincang, oatmeal, rempah-rempah, dan bumbu lainnya. Biasanya penduduk lokal Skotlandia memakannya bersamaan neeps & tatties (Kentang tumbuk dan lobak kuning), dan whisky.
Baca juga: 5 Hal Bikin Gagal Lolos Seleksi Administrasi Beasiswa LDPP 2025
“Paling haggis ini. Aneh dia, soalnya kalau enggak salah dia kayak pakai jeroan-jeroan gitu masaknya. Jadi kayak kerasa bau kan,” ujar Mita, mengenang kesan pertamanya terhadap hidangan khas Skotlandia itu.
Namun, seiring waktu, kesempatan untuk mencicipinya terus datang.
“Kebetulan aku ikut beberapa acara yang diselenggarakan orang lokalnya, ternyata mereka hidangkan ini. Jadi akhirnya aku maksa makan lagi, makan lagi, lama-lama oke enak juga sih,” lanjutnya, menggambarkan bagaimana sesuatu yang awalnya terasa asing bisa perlahan ia terima.
Sebagai pelajar yang tengah menimba ilmu di negeri orang, Mita harus mengatur pengeluarannya. Berbagai cara dipikirkan, sampai pada akhirnya ia menemukan cara unik untuk bertahan. Salah satunya adalah dengan berburu potongan harga atau diskon di supermarket.
“Kalau untuk tips belanja hematnya, pertama adalah datang jam 6 sore ke supermarket,” kata Mita menjelaskan salah satu cara menghemat pengeluaran di Glasgow.
Di antara rak-rak supermarket itulah ia belajar tentang perbedaan budaya yang mencolok. Bahan makanan seperti sayur, daging, dan kentang yang dianggap “expired” di Inggris seringkali masih dalam kondisi prima menurut standar orang Indonesia.
“Kalau kita kan kayak diliat daging kayak masih segar, ya sudah lah kita berani makan ‘kan, tapi kalau orang sana sudah ada label expired, itu tuh bener-bener kayak hari itu mereka udah nggak mau beli. Jadi tiap jam 6 sore saya datang ke supermarket, sudah pada diskon 50 persen, padahal masih pada segar gitu,” ceritanya sambil tersenyum, mengenang bagaimana ia bisa mendapatkan sayuran segar dengan harga setengah dari biasanya.
Mita juga mengungkapkan perbedaan harga makanan yang cukup signifikan antara Indonesia dan Glasgow.
"Bilang aja kita makan ramen deh. Ramen di Jakarta ‘kan misalnya Rp 70.000. Di sana tuh 15-16 pound, berarti Rp 300.000," jelasnya.
Meski demikian, ia menambahkan bahwa harga tersebut masih tergolong wajar mengingat standar gaji di sana. "Di sana 1 jam kerja 11 pound, itu UMR loh," tambahnya.
Baca juga: H-2 Pendaftaran Beasiswa LPDP 2025 Tutup, Cek 5 Perubahan Kebijakannya
Sebagai perbadingan, dengan UMR 11 pound per jam, seseorang hanya perlu bekerja sekitar 1,5 jam untuk membeli semangkuk ramen di Glasgow. Sebaliknya, di Indonesia, dengan UMR Jakarta sekitar Rp 5 juta per bulan (sekitar Rp 29.000 per jam), harus bekerja hampir 2,5 jam untuk makanan serupa.
Di tengah kerinduan akan masakan Indonesia, Mita menemukan solusi melalui komunitas istri-istri mahasiswa PhD yang menjual makanan Indonesia.