DI INDONESIA, kata “favorit” dalam dunia pendidikan seolah menjadi penanda adanya stratifikasi kualitas institusi pendidikan.
Sekolah favorit tak hanya merujuk pada prestasi akademik yang tinggi, tetapi juga pada simbol status sosial, kelengkapan fasilitas, dan—yang paling menentukan—kualitas guru.
Di sisi lain, sekolah-sekolah “terbelakang” terus didera berbagai keterbatasan: ruang kelas yang reot, akses digital yang timpang, dan guru-guru yang seringkali mengajar lebih karena kewajiban ketimbang semangat membangun.
Maka, jadilah sistem pendidikan kita seperti piramida yang stabil di puncak, tapi goyah dan retak di fondasinya.
Ini bukanlah isu baru. Fakta yang mengkhawatirkan adalah bahwa segala upaya “pemerataan” yang telah dirancang pemerintah—mulai dari Kurikulum 2013, sistem zonasi, hingga asesmen nasional—belum cukup berhasil meredam ketimpangan ini.
Sistem zonasi, misalnya, sejak diberlakukan lewat Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018, menuai polemik luas.
Alih-alih memperkuat semangat pemerataan akses pendidikan, zonasi justru menelanjangi ketimpangan itu sendiri.
Ketika anak-anak cerdas “terpaksa” bersekolah di institusi yang tidak siap menyambut mereka, kualitas pendidikan tak meningkat—malah menurun karena input dan prosesnya saling tidak kompatibel.
Baca juga: Sekolah Rakyat dan Unggulan: Kilau di Pusat, Sunyi di Pelosok Daerah 3T
NBA (National Basketball Association) adalah liga basket profesional Amerika Serikat, merupakan liga basket paling kompetitif di dunia.
Sudah jadi rahasia umum betapa kehebatan NBA bukan hanya pada skill para pemainnya, melainkan juga pada sistem kompetisi yang adil dan dinamis.
Liga ini tidak membiarkan dominasi klub-klub besar berlangsung abadi. Tak ada Real Madrid atau Manchester City versi NBA. Mengapa?
Jawabannya terletak pada dua sistem utama: "NBA Draft" dan "Salary Cap".
Setiap tahun, NBA menyusun daftar draft pemain muda berbakat, di mana klub-klub berkesempatan merekrut pemain baru dari NCAA atau dari luar negeri.
Menariknya, urutan memilih ditentukan berdasarkan performa klub di musim sebelumnya: semakin buruk prestasi klub, semakin besar peluangnya mendapatkan pilihan pertama.
Sistem ini adalah bentuk intervensi struktural untuk memberi kesempatan kepada tim lemah agar bangkit.