Sesuai aturan pemerintah saat itu, THR hanya berlaku untuk PNS, bukan pekerja swasta.
Kebijakan tersebut rupanya ditentang keras oleh kaum buruh, terutama organisasi buruh yang terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Para penentang berargumen, THR yang hanya diberikan kepada pamong praja sebagai tindakan tidak adil. Padahal, mereka juga sama-sama bekerja, baik di perusahaan swasta maupun perusahaan negara.
Baca juga:
Organisasi buruh terbesar di masa itu, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) berada di front terdepan dalam perjuangan buruh.
Pada 13 Februari 1952, para buruh melakukan protes dengan mogok kerja dan menuntut pemerintah memberikan uang THR bagi para buruh.
Pada saat itu awalnya pemerintah masih mengabaikan suara buruh. Akan tetapi, SOBSI terus berjuang meminta buruh mendapat THR sebesar satu bulan gaji.
Kemudian, kabinet Ali Sastroamidjojo, Perdana Menteri kedelapan Indonesia, mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1954 tentang Pemberian Persekot Hari Raja kepada Pegawai Negeri. Sementara itu, buruh gencar menuntut pemerintah.
Untuk mengakomodir buruh, pemerintah lewat Menteri Perburuhan S.M Abidin kemudian menerbitkan Surat Edaran Nomor 3667 Tahun 1954.
Besaran THR untuk pekerja swasta adalah sebesar seperduabelas dari gaji yang diterima dalam rentan waktu satu tahun. Jumlah paling sekurang-kurangnya adalah Rp 50 dan paling besar Rp 300.
Namun surat edaran tersebut hanya bersifat imbauan. Artinya, banyak perusahaan yang tidak membayarkan THR karena menganggapnya sebagai tunjangan pegawai yang diberikan sukarela.
Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 1 Tahun 1961 atau saat Menteri Perburuhan dijabat oleh Ahem Erningpraja.
Aturan mengenai besaran dan skema THR secara lugas baru diterbitkan pemerintah pada tahun 1994 yakni lewat Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 04 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi pekerja swasta di perusahaan.
Lewat peraturan ini, pemerintah mewajibkan semua perusahaan untuk memberi THR kepada pekerja yang telah bekerja minimal tiga bulan kerja. Kebijakan itulah yang kemudian menjadi cikal-bakal kebijakan THR hingga saat ini.
Baca juga: Wajib Dibayar Penuh Tak Boleh Dicicil, Ini Waktu Pencairan dan Besaran THR Lebaran 2022
Tahun 2016 pemerintah melalui Kementrian Ketenagakerjaan, merevisi peraturan mengenai THR.
Perubahan ini tertuang dalam peraturan menteri ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016. Dalam peraturan ini menyebutkan bahwa pekerja yang memiliki masa kerja minimal satu bulan sudah berhak mendapatkan THR.