ÓÅÓιú¼Ê

Baca berita tanpa iklan.
Sarjoko S
Wiraswasta

Sarjoko S. merupakan mahasiswa doktoral Kajian Budaya dan Media Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan dosen tamu di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

"Spectatorship" dan Dekomodifikasi Agama dalam Film Jumbo

ÓÅÓιú¼Ê.com - 16/04/2025, 05:40 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di
Editor

Saat ini, Jumbo menjadi salah satu film Lebaran terlaris. Hingga pertengahan April, diumumkan film ini mendapatkan lebih dari 3,5 juta penonton di seluruh Indonesia.

Angka tersebut diprediksi terus meningkat di tengah masifnya seruan ajakan menonton oleh ‘buzzer Jumbo’.

Kata ‘buzzer’ yang biasanya berkonotasi negatif, menjadi sesuatu yang heroik demi mempromosikan film animasi berbiaya produksi sekitar Rp 20 miliar tersebut.

Baca juga:

"Spectatorship"

Dalam kajian film terdapat istilah fabula dan sjuzet yang merujuk pada penarasian sebuah film. Fabula adalah cerita, sementara sjuzet adalah plot-nya.

Keduanya menjadi bagian dari cinematic apparatus yang membentuk pengalaman kebernontonan (spectatorship), yang cukup berperan dalam menginterpelasi seseorang untuk menonton.

Film Jumbo sekilas merupakan film untuk anak. Namun, film ini merepresentasikan berbagai 'elemen Milenial', seperti permainan kasti yang kini hampir ‘punah’.

Bisa jadi, penonton digital-native tidak tahu permainan kasti yang sangat populer tahun 1990-2000-an awal. Dari sini saja, Jumbo menegaskan bahwa film ini 'perlu' ditonton oleh beragam generasi usia.

Film Jumbo menggunakan salah satu formula sukses berupa hantu. Namun, hantu di sini tidak berlandas agama tertentu sehingga melepaskan Jumbo dari wacana agama yang membuatnya menciptakan semestanya sendiri.

Sepanjang film, tidak ada satu pun simbol agama yang dimunculkan, baik dari dialog, ornamen, dan elemen film lainnya.

Baca juga:

Narasi tersebut menjadi perjudian besar karena Jumbo dihadapkan pada persoalan naratif. Penggunaan unsur agama kerap membantu seseorang memahami nalar cerita.

Dengan melungsur agama dari unsur film, atau dekomodifikasi agama, Jumbo tengah menciptakan arena yang netral. Artinya, mereka memiliki pekerjaan untuk membangun keutuhan agar sebuah plot bisa diterima penonton.

Strategi penarasian ini ternyata berhasil menjangkau penonton lintas latar belakang. Meski ada riak-riak ‘pertanyaan’ dari sebagian penonton, tapi kedewasaan menempatkan animasi sebagai fiksi murni (pure fiction) yang tidak perlu dilekatkan dengan kisah-kisah lain, termasuk agama, membuat sebagian besar penonton bisa menikmatinya. Terlebih kualitas gambar yang dihasilkan pun sangat memanjakan mata.

Pada akhirnya, Jumbo bisa menjadi tonggak penting bagi sineas Indonesia untuk memproduksi film yang berkualitas tanpa harus mengikuti pola dan format yang ‘itu-itu saja’.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita ÓÅÓιú¼Ê.com WhatsApp Channel : . Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan.
Baca berita tanpa iklan.
Komentar
Baca berita tanpa iklan.
Close Ads
Penghargaan dan sertifikat:
Dapatkan informasi dan insight pilihan redaksi ÓÅÓιú¼Ê.com
Network

Copyright 2008 - 2025 ÓÅÓιú¼Ê. All Rights Reserved.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses ÓÅÓιú¼Ê.com
atau