MASIH jauh untuk kita bisa terkesan oleh performa Indonesia jika melihat hasil dari laporan "Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 Results (Volume III): Creative Minds, Creative Schools" yang diterbitkan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
Laporan tersebut menyatakan bahwa skor korelasi pemikiran kreatif antara kompetensi matematika dan kemampuan membaca siswa Indonesia berada di bawah skor rata-rata, yaitu masing-masing 0,57 dan 0,55. Sementara skor korelasi rata-rata negara-negara OECD adalah 0,80.
Proses kognitif dalam kreativitas dan berpikir kritis punya banyak kesamaan, lanjut laporan tersebut.
Para ilmuwan dari OECD Centre for Educational Research and Innovation (CERI) sepakat bahwa kedua kompetensi tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat atribut, yaitu membayangkan, menyelidiki, melakukan, dan merefleksikan.
Kreativitas menekankan pada atribut 'membayangkan', seperti berdiskusi, menghasilkan ide serta alternatifnya.
Berpikir kritis lebih menekankan pada atribut 'menyelidiki', yang mencakup dimensi analisis dan sistematis dalam memahami serta memecahkan masalah.
Berpikir kritis juga mencakup atribut 'membayangkan', terutama saat mencari alternatif teori, alasan, dan membuat keputusan.
Sementara kreativitas pada akhirnya harus menggunakan atribut 'melakukan' saat menilai dan memutuskan alternatif gagasan dalam proses imajinasi.
Miftah Maulana dan kawan-kawannya tampak bertekad untuk membuktikan bahwa hasil PISA 2022 Indonesia yang mengecewakan itu pantas untuk dirayakan.
Memperbaiki kualitas moral Miftah Maulana serta kroninya bukanlah tugas kita — tentu tidak ada harapan. Tidak perlu berharap untuk melihat perbaikan dalam aspek itu.
Ejekkan yang memuakkan Miftah Maulana terhadap seorang penjual es teh yang berjualan di tengah ceramahnya, lebih menimbulkan pertanyaan bagi publik itu sendiri: mengapa kita masih memberi panggung kepada orang-orang ini untuk tampil?
Mengapa harus mendengarkan para 'Key Opinion Leaders' (KOL) maupun akun 'Buzzers' favorit Anda? Mengapa kita harus peduli? Mengapa kita harus mengikuti? Mengapa kita harus memberi mereka otoritas atas diri kita?
Ini adalah masalah pola pikir masyarakat, masalah pemikiran kreatif-kritis, yang laporan PISA 2022 tekankan.
Di Oxford Union, filsuf Marxis asal Slovenia Slavoj 沤i啪ek berkata, "Ketika saya masih muda, kami adalah kaum Sayap Kiri gaya lama yang berpikir bahwa mereka yang berkuasa memiliki martabat, tetapi kami, Anda tahu — gerakan vulgar, menggunakan kata-kata kotor. Dan kami mendapat jawaban, yaitu mereka yang berkuasa lebih vulgar daripada yang kita bayangkan."
Itulah jawabnya: "...mereka yang berkuasa (Miftah Maulana dan kroninya) lebih vulgar (mengejek seorang penjual es teh) daripada yang kita bayangkan."