KOMPAS.com - Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Sugiono menyampaikan, langkah Indonesia bergabung dalam aliansi ekonomi BRICS sejalan dengan tujuan program kerja Kabinet Merah Putih.
Beberapa di antaranya, untuk menerapkan ketahanan pangan dan energi, pemberantasan kemiskinan, dan pemajuan sumber daya manusia.
"Bukan berarti kita ikut kubu tertentu, melainkan kita berpartisipasi aktif di semua forum," ujar Sugiono, seperti diberitakan 优游国际.com, Jumat (25/10/2024).
Lantas, apa dapak Indonesia bergabung dengan BRICS?
Baca juga: Sudah Gabung G20, Kenapa Indonesia Ingin Daftar BRICS? Berikut Penjelasan Menlu Sugiono
Lembaga riset Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai, bergabung dengan BRICS tidak membawa dampak signifikan terhadap ekonomi Indonesia.
Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira mengungkapkan, pendaftaran resmi Indonesia ke BRICS semakin menegaskan ketergantungan pada China.
"Padahal tanpa BRICS dari sisi investasi dan perdagangan Indonesia, porsi China sudah sangat besar," ujarnya dalam keterangan yang diterima 优游国际.com, Minggu (27/10/2024).
Bhima merinci, impor Indonesia dari China melonjak 112,6 persen dalam sembilan tahun terakhir, dari 29,2 miliar dollar AS pada 2015 menjadi 62,1 miliar dollar AS pada 2023.
Sementara, pada periode yang sama, investasi dari China terpantau ikut melonjak sebanyak sebelas kali lipat.
"Indonesia juga tercatat sebagai penerima pinjaman Belt and Road Initiative terbesar dibanding negara lainnya pada 2023," kata Bhima.
Sebagai informasi, Belt and Road Initiative atau Prakarsa Sabuk dan Jalan adalah strategi pembangunan global yang diadopsi oleh pemerintah China.
Baca juga:
Strategi ini melibatkan pembangunan infrastruktur dan investasi di negara lain dan organisasi internasional yang tersebar di Asia, Eropa, Afrika, Afrika, Timur Tengah, dan Amerika.
Oleh karena itu, bergabungnya Indonesia ke BRICS dikhawatirkan akan memicu duplikasi kerja sama bilateral dengan China.
Proyek-proyek yang didanai pemerintah maupun swasta China di Indonesia juga dinilai menimbulkan berbagai persoalan, terutama dari segi lingkungan hidup dan tenaga kerja.
Misalnya, kecelakaan kerja di PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) yang berulang, menunjukkan standardisasi dan pengawasan proyek investasi China masih lemah.