KOMPAS.com - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) buka suara soal kasus S (4) yang meninggal usai digigit anjing rabies di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), Senin (8/5/2023).
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengatakan, selama ini cakupan serum anti-rabies dan vaksin anti-rabies sudah sesuai dengan perkiraan kasus.
"Jumlahnya sesuai perkiraan kasus ya, terutama pada daerah yang endemis rabies, termasuk NTT," kata Nadia kepada 优游国际.com, Kamis (11/5/2023).
Kendati demikian, Nadia tak memungkiri adanya masalah distribusi vaksin.
"Biasanya terjadi karena keterlambatan datang ke faskes," imbuhnya.
Serum anti-rabies dan vaksin anti-rabies merupakan vaksin yang diberikan untuk korban gigitan hewan rabies.
Nadia mengatakan, serum anti-rabies diberikan kepada korban yang mengalami gigitan dengan luka risiko tinggi.
Tujuannya adalah untuk memberikan kekebalan pasif dalam sepekan pertama di mana pada masa itu belum terbentuk imunitas terhadap virus rabies.
Sementara vaksin anti-rabies (VAR) terdiri dari vaksin kering dalam vial dan pelarut 0,5 ml dalam syringe yang diberikan kepada korban gigitan rabies.
Vaksin tersebut disuntikkan secara intramuscular di lengan atas. Atau, pada anak berusia di bawah 1 tahun disuntikkan di paha.
Pada kasus bocah S (4), dokter setempat menyatakan bahwa korban telah mendapatkan vaksin anti-rabies sebanyak dua kali.
"Sebelum dibawa ke rumah sakit, (korban) sempat diberi VAR dua kali di Puskesmas Beru," ujar Direktur RSUD Tc Hillers Maumere, dr Clara Francis, dilansir dari (9/5/2023).
Di sisi lain, Nadia juga menyoroti vaksinasi rabies untuk hewan yang masih sangat rendah.
"(Cakupan vaksin hewan rabies) masih rendah ya karena ini selain anjing peliharaan juga anjing liar juga harus divaksinasi," tuturnya.
Menurut Nadia, cakupan vaksinasi rabies pada anjing itu hanya 30-40 persen, padahal targetnya adalah 70 persen.