KOMPAS.com - Hari ini 21 tahun lalu, tepatnya 18 Februari 2001, konflik Sampit yang merupakan konflik antara suku Dayak asli dan warga migran Madura pecah.
Diberitakan Harian ÓÅÓιú¼Ê, 19 Februari 2001, pada hari Minggu, 18 Februari 2001, pukul 01.00, 6 orang tewas, 12 rumah hangus dibakar, dan puluhan ternak mati dalam kerusuhan di Sampit, ibu kota Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah (Kalteng).
Dari 6 orang yang tewas itu, lima di antaranya pendatang.
Hingga Minggu, pukul 18.00, suasana di Kota Sampit masih tegang, arus lalu lintas lengang dan penduduk umumnya memilih mengurung diri di dalam rumah.
Suasana itu terasa hingga Palangkaraya yang berjarak 220 kilometer dari Sampit.
Arus lalu lintas Palangkaraya-Sampit tampak lengang. Padahal, dalam kondisi normal, jalur itu merupakan rute paling padat di Kalteng.
Baca juga: Konflik Sampit: Latar Belakang, Konflik, dan Penyelesaian
Menurut keterangan yang dihimpun Harian ÓÅÓιú¼Ê, Minggu dini hari, salah satu rumah milik penduduk asli di Jalan Padat Karya, Sampit, dibakar orang.
Diduga kuat dilakukan kelompok pendatang.
Merasa diperlakukan seperti itu, penduduk asli melakukan pembalasan. Dalam serangan itu seorang pendatang dan seorang penduduk asli tewas.
Serangan dilanjutkan hingga ke Jalan Tidar, berjarak sekitar 500 meter dari Jalan Padat Karya, yang banyak dihuni masyarakat pendatang.
Di Jalan Tidar ini, mereka membakar rumah. Tiga orang penghuni rumah tewas. Seorang lagi tewas akibat senjata tajam. Selain itu, puluhan ternak penduduk mati.
Sementara itu, Heriyanto (47), warga Jalan Tidar, mengemukakan, peristiwa serangan di kampungnya itu sangat menakutkan.
Sekitar pukul 01.00, dalam keheningan malam, mendadak terdengar suara gaduh. Terjadi kerusuhan dan rumah-rumah penduduk terbakar.
Warga Jalan Tidar, malam itu, berhamburan ke luar mencari sumber keributan tersebut.
Masyarakat yang panik terpaksa menyelamatkan diri ke semak belukar yang ada di kawasan Jalan Tidar.