优游国际

Baca berita tanpa iklan.
Salin Artikel

Kisah Ramadhan dari Diaspora Indonesia di Norwegia dan Jerman

KOMPAS.com - Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah bagi umat Islam, termasuk bagi warga negara Indonesia (WNI) yang tinggal di luar negeri.

Walau jauh dari Tanah Air, para diaspora tetap menjalankan ibadah puasa dengan penuh semangat, meski perbedaan waktu membuat durasi puasa sedikit berbeda dengan Indonesia.

Bagi mereka yang merantau ke negara dengan mayoritas non-muslim, berbuka puasa bersama keluarga atau komunitas menjadi cara menjaga kebersamaan.

Seperti kisah Indri Desiati dan Anggita Dewayani, diaspora muslim Indonesia yang kini menetap di Tanah Eropa.

Bagaimana cerita Ramadhan di sana?

Puasa 14 jam di Norwegia

Indri Desiati, wanita asal Surabaya, Jawa Timur ini sudah menetap selama hampir delapan tahun di Trondheim, Norwegia dan kini tengah menempuh pendidikan doktoral di Norwegian University of Science and Technology (NTNU).

Ia ingat saat pertama kali datang ke negara Skandinavia ini pada 2017. Kala itu, ia harus berpuasa hingga 20 jam karena bertepatan dengan musim panas.

Untungnya, tahun ini Ramadhan jatuh tepat di musim dingin sehingga durasi puasa tidak jauh berbeda dengan Indonesia.

"Untuk waktu puasa di Trondheim tergantung musimnya. Seperti tahun ini Ramadhan berlangsung di musim dingin jadi puasanya sekitar 13 sampai 14 jam," kata Indri kepada 优游国际.com, Rabu (5/3/2025).

Sama halnya dengan waktu masuknya shalat. Indri menuturkan, saat ini subuh di Throndheim jatuh pada pukul 04.34, dzuhur pukul 12.30, ashar 15.39, maghrib pukul 17.51, dan isya pukul 20.18.

Karena lebih dari 60 persen penduduk di Norwegia adalah non-muslim, suasana Ramadhan di kota tempat ia tinggal tidak seramai saat Natal. 

Namun, kegiatan berbuka puasa bersama komunitas Muslim dan teman-teman seperjuangan dari Indonesia cukup mengobati kerinduan Indri akan suasana Ramadhan.

"Komunitas Muslim Sabtu ini ada buka puasa bersama dari remaja masjid, biasanya 200-300 orang datang. Komunitas Indonesia juga ada buka puasa bersama minggu ini," ungkapnya.

Acara buka puasa bersama komunitas Muslim internasional ini dilakukan di masjid dengan membawa hidangan khas dari masing-masing negara.

Tak hanya sekedar makan bersama, kata Indri, acara juga diisi dengan hiburan, kuis, penampilan anak-anak, dan pembacaan Al Quran.

"Shalat jamaah terus sisanya bersosialisasi. Setelah itu shalat Tarawih untuk yang mau lanjut Tarawih juga bisa. Untuk shalat Id juga biasanya ramai banget sampai ribuan yang ikut," sambungnya.

Meski begitu, suasana Ramadhan di Indonesia tetap tidak tergantikan. Indri mengaku banyak yang sangat ia rindukan.

"Bunyi azan, terutama waktu subuh, meriahnya cari takjil, bisa Tarawih dekat rumah sama teman-teman, dan kumpul sama keluarga," ucapnya.

Sama seperti Indri, Anggita Dewayani yang berasal dari Yogyakarta sudah tinggal di Stuttgart, ibu kota negara bagian Baden-Wurttemberg, Jerman sejak 2017.

Wanita yang akrab disapa Anggi ini menetap di sana bersama dengan suami dan kedua anaknya. Ia juga tengah menempuh pendidikan di Technische Universitat Munchen.

Meski agama mayoritas di Jerman adalah Kristen, tetapi suasana Ramadhan di kota tempat ia tinggal cukup ramai.

"Semakin ke sini Ramadhan makin ramai. Jadi di sini banyak Muslim dari Turkiye, karena sejak zaman Perang Dunia Dua banyak pekerja dari sana didatangin ke sini untuk membangun Jerman," jelas Anggi, saat dihubungi 优游国际.com, Kamis (6/3/2025).

Ia menuturkan, komunitas Muslim Turkiye ini sering menggelar acara setiap Ramadhan dan lebaran di masjid-masjid kecil.

Tidak begitu sulit menemukan masjid di Jerman, kata Anggi. Di sana ada beberapa masjid, mulai dari masjid Turkiye yang didominasi jemaah dari Turkiye, masjid Lebanon, dan masjid Bosnia.

Sementara di Stuttgart, jemaah Indonesia tidak memiliki masjid khusus, tetapi ada mushala yang digunakan sebagai tempat beribadah dan berkumpul saat Ramadhan dan Lebaran.

Mushala itu dulunya adalah rumah orang Indonesia yang kemudian dihibahkan.

"Setiap weekend mengadakan buka bersama, kalau Lebaran juga ramai karena Stuttgart kan kota besar. Banyak kota-kota kecil di sekitarnya itu ikut ke pengajian kita, kalau Lebaran ikut ke sini bisa sampai 150-200 orang," jelas Anggi.

Selain di mushala, biasanya orang Indonesia di sana juga mengadakan buka bersama di rumah-rumah. Hal ini lah yang menurut Anggi membuat suasana Ramadhan semakin kental.

Ia menambahkan, semarak Ramadhan tahun ini di Stuttgart juga terasa karena banyak toko dan supermarket yang mulai menjual aksesoris Ramadhan. Beberapa di antaranya juga ada yang menawarkan paket iftar.

"Senang karena mereka tahu banyak teman Muslim yang puasa Ramadhan. Di kantor aku bahkan kolega pada bilang 'happy mubarak', 'puasa ya?'. Jadi sudah lebih mengerti dan familiar," ujarnya.

Tidak berbeda dengan di Indonesia, durasi puasa di Stuttgart tahun ini berlangsung sekitar 13 jam. Mulai subuh pukul 05.00 hingga maghrib pukul 18.30.

Anggi mengatakan, puasa tahun ini tidak begitu banyak tantangan karena meski mulai masuk musim semi, tetapi cuaca di sana masih dingin.

"Iklimnya kan dingin, sekarang suhunya juga dua derajat kalau siang. Jadi buat puasa nyaman banget, enggak yang kering dan bikin haus," tuturnya.

/tren/read/2025/03/06/171500565/kisah-ramadhan-dari-diaspora-indonesia-di-norwegia-dan-jerman

Baca berita tanpa iklan.
Baca berita tanpa iklan.
Baca berita tanpa iklan.
Close Ads
Penghargaan dan sertifikat:
Dapatkan informasi dan insight pilihan redaksi 优游国际.com
Network

Copyright 2008 - 2025 优游国际. All Rights Reserved.

Bagikan artikel ini melalui
Oke