KOMPAS.com - Masyarakat yang tinggal di Pulau Jawa umumnya sudah mengenal sebuah sistem penanggalan yang khas, yaitu kalender Jawa.
Sampai sekarang, masih banyak orang yang memakai sistem penanggalan Jawa ini.
Kalender Jawa memiliki 12 bulan dengan nama Suro, Sapar, Mulud, Rabingulakir, Jumadilawal, Jumadilakir, Rajab, Ruwah, Puasa, Syawal, Hapir, dan Besar.
Setiap bulan dalam kalender Jawa juga memiliki hari yang berlainan jumlah, mulai dari 29 hari hingga 30 hari.
Disebutkan bahwa kelahiran kalender Jawa ini masih berkaitan dengan adanya proses akulturasi budaya Islam dan Jawa.
Lalu, bagaimana akulturasi budaya dalam sistem kalender Jawa?
Baca juga: Wujud Akulturasi Budaya Lokal dengan Hindu-Buddha
Kalender Jawa adalah sistem penanggalan yang dibuat oleh Sultan Agung oleh pada 1633 Masehi.
Sultan Agung adalah raja terbesar Mataram Islam yang berhasil membawa kerajaan mencapai puncak kejayaan antara tahun 1613-1645.
Pada masa pemerintahannya, Sultan Agung banyak membawa perubahan baru, salah satunya menciptakan kalender Jawa.
Raja Mataram Sultan Agung menyatukan berbagai sistem penanggalan masyarakat, yaitu kejawen (Jawa) menggunakan kalender Saka dan kaum santri (Islam) menggunakan kalender Hijriah.
Berdasarkan dari penjabaran itu, maka dapat diketahui bahwa telah terjadi akulturasi budaya dalam sistem kalender Jawa, yaitu budaya kejawen (Jawa) dengan budaya Islam.
Kalender Saka merupakan sistem penanggalan berdasarkan pergerakan bumi mengelilingi matahari.
Sistem penanggalan ini sebenarnya lebih dulu digunakan oleh masyarakat Hindu India sejak 78 M, masyarakat Hindu Jawa, dan masyarakat Hindu Bali hingga sekarang.
Sementara itu, kalender Hijriah adalah kalender bulan berdasarkan pergerakan bulan mengelilingi bumi yang perhitungannya dimulai tahun 622 M.
Baca juga: Siapa yang Menciptakan Kalender Jawa?
Tujuan Sultan Agung menyatukan sistem penanggalan ini adalah untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat Jawa yang berbeda, sehingga sistem penanggalan Jawa dibuat.