KOMPAS.com – Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom) Bandung, Jawa Barat, tengah menjadi sorotan setelah menarik kembali 233 ijazah alumninya dari periode 2018-2023.
Keputusan ini memicu polemik, terutama dengan adanya dugaan praktik jual beli nilai di lingkungan kampus yang turut diungkap oleh pihak institusi sendiri.
Ketua Stikom Bandung, Dedy Djamaluddin Malik, menjelaskan bahwa penarikan ijazah dilakukan setelah adanya temuan dari Tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) yang berasal dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti).
“Evaluasi kinerja akademik menemukan beberapa hal yang tidak sesuai dengan ketentuan, misalnya nilai akademik serta syarat minimal SKS yang berbeda antara milik Stikom Bandung dan Pangkalan Data Dikti,” ujar Dedy, Senin (13/1/2025).
Selain ketidaksesuaian data akademik, ditemukan pula bahwa ijazah lulusan periode tersebut tidak memiliki Penomoran Ijazah Nasional (PIN) dari kementerian dan belum dilakukan tes plagiasi terhadap karya ilmiah mahasiswa.
Baca juga:
Dedy mengungkapkan adanya dugaan praktik jual beli nilai yang melibatkan salah satu operator kampus. Praktik ini disebut terjadi tanpa sepengetahuannya sebagai pimpinan.
“Ada operator yang lakukan tindakan jual beli nilai. Saya telah mengganti yang bersangkutan dengan harapan tidak ada masalah lagi. Eh, ternyata dikadalin juga sehingga tidak tercium,” jelasnya.
Namun, Dedy menegaskan bahwa langkah penarikan ijazah tidak bertujuan untuk mengulang perkuliahan dari awal.
Alumni hanya perlu melengkapi kekurangan SKS, memperbaiki nilai akademik, dan melengkapi administrasi yang dianggap bermasalah.
Kebijakan ini langsung menuai protes keras dari para alumni. Salah satu perwakilan alumni, Asep (bukan nama sebenarnya), menyatakan bahwa keputusan tersebut diambil secara sepihak dan merugikan para lulusan.
“Kami sudah kuliah minimal empat tahun, mengorbankan waktu, tenaga, dan biaya. Sekarang tiba-tiba diminta kembali kuliah? Itu tidak adil,” ujarnya saat ditemui pada Selasa (14/1/2025).
Baca juga:
Alumni menyoroti kurangnya transparansi kampus dalam mengungkap alasan detail penarikan ijazah.
Menurut Asep, kampus hanya menyampaikan adanya perbedaan data antara sistem internal dengan Pangkalan Data Dikti (PDDIKTI) tanpa menjelaskan apakah kesalahan terjadi di pihak mahasiswa atau administrasi kampus.
“Tidak transparan, sampai Ketua Stikom Pak Dedy hanya menyampaikan ada perbedaan nilai antara sistem di kampus dan PDDIKTI. Ini harus dijelaskan lebih rinci,” tegasnya.
Asep juga mempersoalkan kebijakan tes plagiasi yang baru diterapkan pada Mei 2024, setelah periode kelulusan 2018-2023. Namun, aturan tersebut diterapkan secara surut sehingga mempengaruhi lulusan sebelumnya.