BBC melaporkan, para anggota Hamas yang menggunakan penutup wajah, beberapa bersenjata api dan yang lainnya membawa pentungan, membubarkan massa secara paksa, serta menyerang sejumlah demonstran.
Video yang banyak beredar di media sosial, yang diunggah para aktivis yang biasanya kritis terhadap Hamas, menunjukkan para pemuda berbaris di jalan-jalan di Beit Lahia, Gaza bagian utara, Selasa kemarin. Mereka berteriak "... keluar, keluar, keluar, Hamas keluar".
Para pendukung Hamas membela organisasi itu. Mereka menganggap demonstrasi tidak signifikan, serta menuduh para peserta sebagai pengkhianat. Hamas sendiri belum mengeluarkan pernyataan.
Aksi protes di Gaza utara itu terjadi sehari setelah kelompok Jihad Islam menembakkan roket ke Israel.
Israel membalas dengan memutuskan untuk mengevakuasi sebagian besar warga Beit Lahia. Hal itu memantik kemarahan publik di wilayah tersebut.
Setelah hampir dua bulan gencatan senjata yang dimulai pada 19 Januari, Israel kembali melancarkan operasi militer di Gaza.
Israel beralasan, Hamas menolak proposal baru dari AS untuk memperpanjang gencatan senjata.
Hamas, di sisi lain, menuduh Israel tidak mematuhi kesepakatan awal dalam gencantan senjata yang dicapai pada pertengahan Januari.
Sejak Israel melanjutkan operasi militernya dengan serangan udara pada 18 Maret, ratusan warga Palestina tewas dan ribuan orang lainnya terpaksa kembali mengungsi.
Salah seorang demonstran, Mohammed Diab, warga Beit Lahia, rumahnya hancur akibat perang dan saudaranya juga tewas dalam serangan udara Israel setahun yang lalu.
"Kami menolak mati demi siapa pun, demi agenda partai mana pun, atau demi kepentingan negara asing," katanya kepada BBC.
"Hamas harus mundur dan mendengarkan suara mereka yang berduka, suara yang muncul dari bawah puing-puing—itulah suara yang paling jujur."
Rekaman video dari kota itu juga menunjukkan para demonstran yang berteriak, "gulingkan kekuasaan Hamas, gulingkan kekuasaan Ikhwanul Muslimin".
Hamas berkuasa penuh di Gaza sejak 2007, setelah memenangi pemilu Palestina pada tahun sebelumnya, kemudian menyingkirkan saingan-saingannya dengan kekerasan.
Kritik terbuka terhadap Hamas semakin meningkat di Gaza sejak perang dimulai, baik di jalanan maupun di dunia maya. Meski begitu, masih ada para pendukung garis keras kelompok itu, sehingga sulit menentukan seberapa besar pergeseran dukungan terhadapnya.
Jauh sebelum perang dengan Israel pecah, sudah ada pihak yang menentang Hamas, tetapi sebagian besar enggan bersuara secara terbuka karena takut akan konsekuensinya.
Di Facebook, Mohammed Al Najjar dari Gaza menulis, "Mohon maaf, Hamas sebenarnya sedang bertaruh untuk apa? Mereka bertaruh untuk darah (nyawa) kami, darah (nyawa) yang oleh dunia hanya dipandang sebagai statistik."
"Bahkan Hamas pun menganggap kami hanya sebagai angka. Mundurlah dan biarkan kami mengobati luka-luka kami."
Perang di Gaza dipicu serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023, yang menewaskan sekitar 1.200 orang, sebagian besar warga sipil, dan menyebabkan 251 orang lainnya disandera.
Israel merespons serangan itu dengan operasi militer untuk menumpas Hamas. Menurut Kementerian Kesehatan Gaza yang dikelola Hamas, serangan Israel telah menyebabkan lebih dari 50.000 warga Palestina tewas.
Sebagian besar dari 2,1 juta penduduk Gaza telah mengungsi, bahkan ada dari mereka yang harus pindah berkali-kali.
Sekitar 70 persen bangunan di Gaza diperkirakan rusak atau hancur. Sementara layanan kesehatan, air bersih, dan sanitasi telah lumpuh, serta terjadi kekurangan makanan, bahan bakar, obat-obatan, dan tempat berlindung.
/global/read/2025/03/26/160423970/ratusan-warga-gaza-gelar-protes-anti-hamas