PERUNDINGAN tertutup antara Iran dan Amerika Serikat (AS) yang berlangsung di Kedutaan Besar Oman di Roma, Italia, pada 19 April 2025, menjadi episode penting dalam diplomasi nuklir global.
Ini merupakan pertemuan kedua setelah perundingan di Muscat, dan menandai kelanjutan dari format diplomasi tidak langsung—dengan kedua delegasi tidak berada dalam ruangan yang sama.
Negosiasi ini dilangsungkan dalam situasi kawasan yang sangat tidak stabil. Konflik yang berkecamuk antara Israel dan Hamas di Jalur Gaza, serta serangan udara AS terhadap kelompok Houthi di Yaman—sekutu Iran—menambah ketegangan politik dan militer di Timur Tengah.
Dalam kondisi seperti ini, keputusan untuk melanjutkan dialog justru menunjukkan kesadaran kedua negara akan risiko eskalasi lebih luas jika jalur diplomasi ditutup.
Di tengah gejolak, diplomasi tetap dipertahankan sebagai instrumen utama untuk mencegah krisis lebih besar.
Indonesia memandang dinamika ini sebagai refleksi dari urgensi diplomasi dalam menghadapi krisis global, sekaligus peluang untuk memperkuat posisi sebagai kekuatan menengah yang menjunjung prinsip nonblok dan perdamaian internasional.
Baca juga: Fakta-fakta Hasil Perundingan Nuklir Iran-AS di Oman
Dalam konteks kepentingan geopolitik nasional, Indonesia dapat mengambil peran sebagai penyeimbang strategis yang mendukung penyelesaian damai melalui forum multilateral seperti MIKTA dan Gerakan Nonblok.
Stabilitas Timur Tengah memiliki dampak langsung terhadap harga energi global dan keamanan maritim –dua aspek vital bagi perekonomian Indonesia sebagai negara kepulauan dan importir minyak.
Dalam pertemuan di Roma itu, AS diwakili oleh Steve Witkoff, utusan Presiden Donald Trump untuk Timur Tengah. Sementara itu, Iran mengutus Wakil Menteri Luar Negeri Abbas Araghchi.
Format perundingan yang tetap berlangsung meski secara tidak langsung—dalam ruangan terpisah—mengindikasikan masih kuatnya ketidakpercayaan di antara kedua pihak.
Namun, fakta bahwa mereka tetap bersedia hadir menunjukkan bahwa jalur damai masih dianggap rasional dan strategis oleh para aktor kunci.
Dari perspektif Indonesia, keberlanjutan diplomasi nuklir antara Iran dan AS harus diapresiasi sebagai bagian dari upaya menjaga ketertiban dunia –berdasarkan hukum internasional dan penghormatan terhadap prinsip kedaulatan.
Indonesia, yang selama ini aktif dalam isu nonproliferasi nuklir, berkepentingan agar Timur Tengah tidak menjadi ladang baru perlombaan senjata.
Melalui dukungan terhadap pendekatan diplomatik dan multilateralisme, Indonesia menegaskan komitmen pada arsitektur perdamaian global yang inklusif, serta mengedepankan prinsip-prinsip keadilan dan keseimbangan dalam hubungan internasional.
Geopolitik global saat ini menunjukkan dinamika yang semakin kompleks dalam tatanan dunia multipolar.
Keluarnya Amerika Serikat (AS) dari Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) pada 2018, di bawah pemerintahan Donald Trump, memicu fragmentasi komitmen internasional terhadap perjanjian multilateral.
Pasca-invasi Rusia ke Ukraina, ketegangan antara Barat, Rusia, dan China semakin memperburuk stabilitas global –juga menambah lapisan ketidakpastian dalam hubungan internasional.
Keadaan ini memperlihatkan: bahwa tatanan dunia yang semakin multipolar mengharuskan negara-negara untuk mengembangkan strategi penyeimbangan, yang lebih adaptif terhadap perubahan besar dalam peta geopolitik.
Dalam konteks ini, Iran mengukuhkan posisinya sebagai kekuatan regional yang mencoba memperkuat otonomi strategis melalui kemitraan dengan Rusia dan China.
Kunjungan Wakil Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, ke Moskwa sebelum perundingan di Roma pada April 2025, menunjukkan bahwa Iran sedang memanfaatkan "kartu multipolar" untuk memperluas pengaruh dan mengurangi tekanan dari sanksi Barat.
Iran melihat pentingnya aliansi dengan dua kekuatan besar ini untuk menjaga stabilitas domestik, dan memperkuat posisi tawarnya dalam perundingan internasional, termasuk isu nuklir.
Baca juga:
Di sisi lain, AS menghadapi tantangan strategis jauh lebih besar, yang tidak hanya berkaitan dengan Timur Tengah, tetapi juga dengan kawasan Indo-Pasifik, Ukraina, dan transisi energi global.
AS perlu menjaga fokus pada beberapa titik api yang dapat menguras sumber daya strategisnya.
Oleh karena itu, keberhasilan diplomasi dengan Iran menjadi penting, karena hal ini dapat meredakan salah satu sumber ketegangan yang berpotensi menyedot perhatian AS lebih jauh lagi.
Sementara itu di sisi lainnya, Indonesia, sebagai negara yang memiliki kepentingan dalam stabilitas global dan kawasan, melihat pertemuan ini sebagai momentum untuk memperkuat peran diplomatiknya dalam dunia yang semakin multipolar.