KOMPAS.com – Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti pada Jumat (11/04/25) mengumumkan bahwa penjurusan di SMA akan dihidupkan kembali.
Hal ini dilakukan untuk menunjang pelaksanaan Tes Kemampuan Akademik (TKA) sebagai pengganti Ujian Nasional (UN).
Berdasarkan pantauan 优游国际.com, penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa sebelumnya dihapus pada masa Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) 2019-2024, yang saat itu dipimpin oleh Nadiem Makarim.
Kepala Badan Standar Nasional Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbud Ristek waktu itu, Anindito Aditomo menjelaskan, penghapusan penjurusan dilakukan karena cenderung menimbulkan ketidakadilan karena rata-rata orangtua akan lebih memilih memasukkan anaknya ke jurusan IPA.
Baca juga: Penjurusan IPA, IPS, Bahasa Batasi Kemampuan Siswa Belajar Berbagai Disiplin Ilmu
Keputusan Mendikdasmen Abdul Mu’ti untuk menghidupkan kembali penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa di jenjang SMA menimbulkan reaksi yang beragam.
Ketika organisasi guru seperti PGRI menyambut positif langkah tersebut dengan alasan agar siswa bisa mendalami ilmu sesuai minat mereka, banyak pakar pendidikan yang memberikan kritik tajam.
Ketua Umum PB PGRI, Unifah Rosyidi, memberikan dukungan terhadap kebijakan ini. Ia berpendapat bahwa tanpa penjurusan, siswa akan kesulitan dalam mendalami bidang ilmu yang diminati.
"Harapannya agar siswa menguasai semua ilmu itu dengan baik, tapi jika tidak siap, yang terjadi malah siswa tidak mendapatkan ilmu apa-apa atau hanya mendapatkan sedikit," ujar Unifah dalam rilis resminya pada Minggu (13/4/2025).
Baca juga: PGRI Dukung Rencana Kemendikdasmen Hidupkan Penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA
Namun, Koordinator Nasional Jaringan Pengamat Pendidikan Indonesia, Ubaid Matraji, mengungkapkan meskipun sistem penjurusan ini dirancang dengan niat baik, ada beberapa dampak negatif yang perlu diperhatikan, salah satunya adalah stigmatisasi terhadap jurusan IPA yang dianggap lebih unggul dibandingkan jurusan IPS atau Bahasa.
Selain itu, Ubaid juga menyoroti bahwa pergerakan ilmu pengetahuan saat ini semakin mengarah pada pendekatan multi-disiplin, bukan lagi terfokus pada satu disiplin saja.
Menurutnya, di era teknologi, informasi, dan kecerdasan buatan (AI) seperti sekarang, hampir tidak ada bidang ilmu yang tidak saling berkaitan dengan disiplin ilmu lainnya.
“Ketika ada pengkotak-kotakan jurusan, itu pasti akan membatasi anak untuk belajar ilmu yang lain. Saya pikir penjurusan ini akan menghambat anak untuk belajar dan berselancar di dunia ilmu yang multi-disiplin,” kata Ubaid kepada 优游国际.com, Senin (14/04/25).
Ubaid juga menekankan bahwa penjurusan tidak bisa menjadi jaminan kesuksesan bagi siswa di dunia perguruan tinggi.
Baca juga: Kenapa Pendidikan Indonesia Tidak Bisa Semaju Negara Tetangga?
Menurutnya, banyak anak jurusan IPA yang memilih jurusan IPS di perguruan tinggi, begitu pula sebaliknya.
Artinya, penjurusan tidak menjamin bahwa anak-anak IPA pasti akan berlanjut ke jurusan IPA di perguruan tinggi, dan anak-anak IPS akan tetap di jalur IPS.